Oleh; Gantyo Koespradono
KASTANEWS.ID: MUNGKINKAH tiga nama “tokoh” yang tingkat elektabilitasnya tinggi (berdasarkan hasil survei) ujung-ujungnya nanti tidak satu pun yang dibakalcalonkan sebagai RI-1?
Sangat mungkin. Mengacu kepada apa yang dikatakan Puan Maharani, boleh jadi partai-partai politik, terutama PDIP akan membuat kejutan sendiri dan mengabaikan hasil survei, lalu mengajukan nama capres untuk 2024 di luar ketiga nama yang selama ini sudah dikenal publik.
Selama ini ada tiga tokoh yang berdasarkan survei lembaga survei memiliki elektabilitas tinggi bursa bakal calon presiden 2024-2029.
Mereka berdasarkan urutannya adalah Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.
Namun, Ketua DPP PDIP Puan Maharani meminta kader partainya untuk selektif dalam memilih pemimpin dan tidak terpengaruh dengan hasil survei. Menurut Puan, memilih pemimpin harus dilihat dari kualitasnya, bukan popularitasnya.
Pakar komunikasi politik dari Universitas Pelita Harapan Emrus Sihombing membenarkan apa yang dikatakan Puan. Emrus, sebagaimana dikutip Media Indonesia, menilai survei memakai pendekatan kuantitatif hanya bisa menangkap fenomena di permukaan.
Hal itu, katanya, membuat pendekatan popularitas tidak mendalam dan tidak dapat menjangkau secara kualitatif. “Pendekatan kuantitatif yang dipakai untuk mencari pemimpin berarti mencari pemimpin populer, pemimpin yang pencitraan. Karena dari sudut pandang komunikasi, di situ terjadi manipulasi persepsi publik,” kata Emrus.
Dalam survei, sangat mungkin responden yang terjaring adalah orang awam yang tidak tahu apa-apa. Padahal berdasarkan perundang-undangan, lembaga yang berhak mengajukan nama calon presiden adalah partai politik.
Sampai sedemikian jauh, berdasarkan pengamatan saya, belum satu pun parpol yang secara resmi menyebut, mengusung, mendukung – apalagi mencalonkan – bakal calon presiden.
Sampai saat ini, PDIP, satu-satunya parpol yang punya hak mencalonkan presiden tanpa harus berkoalisi dengan partai lain, juga masih tenang-tenang saja.
Bahkan kalau membaca dari pernyataan Puan Maharani belakangan ini, dengan mudah kita menduga PDIP tidak akan mencapreskan Ganjar Pranowo.
Andai pun Ganjar nekat mencalonkan diri (mentang-mentang popularitasnya tinggi), ia pasti akan berpikir ulang jika untuk urusan yang satu ini, ia harus keluar dari PDIP yang selama ini membesarkannya.
Lain soal kalau para elite politik melakukan strategi atau “sandiwara” tingkat tinggi, yaitu menempatkan Ganjar ke kubu lain, sehingga dua capres yang bertarung pada 2024, semuanya berhaluan nasionalis. Sebab terdengar kabar PDIP akan mencalonkan pasangan Prabowo-Puan Maharani.
Kalau benar PDIP mencalonkan Prabowo-Puan tanpa maksud-maksud lain, maka peluang Ganjar untuk menjadi bakal capres sangat kecil. Jadi semoncer apa pun hasil survei terhadap Ganjar, tetap tidak akan berpengaruh.
Sampai saat ini, banyak orang bertanya-tanya mengapa Prabowo menempati posisi kedua yang elektabilitasnya tinggi. Tanpa PDIP, sulit bagi Prabowo jika berjuang sendiri hanya lewat Gerindra.
Pada Pilpres 2019, Prabowo (Gerindra) berkoalisi dengan PKS, PAN dan Demokrat. Pada 2024, rasanya sulit bagi Prabowo jika akan melakukan “copy-paste” untuk kepentingan calon RI-1.
Sejak bersedia menjadi pembantu Presiden Jokowi sebagai menteri pertahanan di kabinet, para sekutunya pada 2019 menganggap Prabowo telah berkhianat. Sesungguhnya Prabowo sendiri adalah nasionalis tulen.
Ia sebenarnya risih (mungkin juga malu dan menyesal) karena dalam rangka meraih kemenangan di 2019 ia menggunakan politik identitas yang cenderung membuat rusuh negeri.
Jadi, jika situasinya normal-normal saja, sulit bagi Prabowo untuk nyapres pada 2024. Selama ini, ia juga tidak punya prestasi cemerlang. Bukan media darling.
Lalu bagaimana dengan Anies Baswedan? Dari tiga nama tokoh yang berelektabilitas tinggi, hanya Anies-lah yang berstatus tokoh independen dalam artian tidak punya partai. Punya partai seperti Muhaimin Iskandar (PKB) saja sulit menjadi capres. Apalagi seorang independen.
Akhirnya agar diakui, Anies selama ini menjalankan politik bunglon. Saat bertemu dengan AHY, ia mengaku orang Demokrat. Tatkala bertemu Surya Paloh, ia mengaku NasDem. Ketika bertemu dengan Airlangga Hartarto, ia seolah-olah tokoh Golkar.
Saat berada di komunitas ulama/habib, ia mengaku keturunan Arab. Saat berada di Jawa Tengah atau Jawa Timur, ia mengaku ada unsur Jawa. Manakala berada di Sumatra Barat, ia pun bisa saja mengaku orang Minang.
Salahkah Anies? Tidak. Itulah cara atau strategi politik bunglon yang bakal terus dilakukan Anies untuk menjadi capres lembaga survei.
Andai pun Anies nekat tetap akan maju meramaikan bursa pencapresan, saya menduga yang bakal menjadi “manajer investasi”-nya adalah PKS dan kroni-kroninya yang hobi memainkan politik identitas.
Persoalannya, selain dengan PKS, Anies akan berteman lagi dengan siapa? Politik identitas apakah masih laku?[]