JAKARTA (Kastanews.com): Keputusan FIFA mencoret Indonesia sebagai tuan rumah piala dunia U-23 20 Mei – 11 Juni 2023 tidak hanya merugikan sepak bola tanah air, tetapi mencoreng nama baik Indonesia di mata dunia. Bahkan, PSSI harus bersiap jika FIFA akan menjatuhkan sanksi.
“Kita menanggung malu di mata dunia. Kita juga bersiap menerima sanksi dari FIFA. Ini sangat memalukan,” kata Anggota Exco PSSI periode 2003-2011, Subardi di Jakarta, dalam keterangannya, Kamis (30/3).
Subardi menilai sikap Gubernur Jawa Tengah dan Gubernur Bali yang menolak keras timnas Israel bermain di wilayahnya merupakan bentuk diskriminasi dan intervensi kekuasaan. Sikap yang bermuatan politik tersebut bertentangan dengan peraturan FIFA yang diratifikasi PSSI, khususnya di Pasal 7. Pada Ayat (2) disebutkan, PSSI harus menjaga independensi dan netralitas serta menghindari segala campur tangan politik. Sedangkan Ayat (4) mengatur bahwa segala bentuk diskriminasi terhadap suatu negara, kelompok, ras, bahasa, agama, dan lainnya sangat dilarang dan dapat disanksi oleh FIFA.
“Kalau bicara sepak bola ya hukumnya sepak bola. Jangan campurkan dengan kekuasaan politk. Pelarangan Israel itu bentuk diskriminasi dalam aturan FIFA. Israel anggota FIFA, maka harus diberlakukan sama. Tidak boleh ada inetervensi, penolakan, dan lain-lain. Lihat dalam Pasal 7 Statuta,” kata Subardi yang turut menyusun statuta FIFA saat masih di PSSI tahun 2003 silam.
Subardi yang pernah menjabat Ketua Komite Kompetisi PSSI 2007-2011 menegaskan, sikap dua kepala daerah tersebut berakibat fatal. Atas komentar itu FIFA mencoret Indonesia sebagai tuan rumah. Dalam keterangan resminya, FIFA menyebut alasan mencabut status tuan rumah karena ‘situasi terkini’.
Menurut Subardi, intervensi tersebut karena banyak yang tidak paham aturan sepak bola. Dalih menolak Israel untuk faktor kemanusiaan, hal ini justru membuka ruang diskriminasi. Justru dalam sepak bola, semua ras, suku, agama, bahasa mendapat kesempatan yang sama untuk bermain.
“Ada prinsip independen dan kesetaraan sebagaimana dimuat dalam Statuta. Sepak bola itu beda dengan politik. Jangan dibenturkan,” tegas Subardi.
Buntut pencoretan sebagai tuan rumah, Indonesia kehilangan momentum untuk tampil di event bergengsi FIFA. Kerugian lainnya, Indonesia akan dicoret dari sepak bola internasional. Timnas Indonesia tak bisa ambil bagian pada kompetisi apapun. Begitu juga pada level klub. Wakil Indonesia mungkin akan dicoret dari Liga Champions Asia atau AFC Cup. Dengan ancaman ini, pembinaan sepak bola Indonesia akan merosot.
“Penunjukan kita sebagai tuan rumah itu sebuah anugerah. Belum tentu 100 tahun kita menjadi tuan rumah. Ini yang kita perjuangkan, akhirnya lenyap seketika,” kata Subardi geram.
Polemik penolakan timnas Israel sempat diluruskan oleh Presiden Joko Widodo. Namun bagi Subardi, polemik tersebut sudah terlanjur menyebar di media internasional. Pernyataan resmi Jokowi tak bisa memperbaiki keadaan. Ibarat nasi telah menjadi bubur, Indonesia tetap dicoret sebagai tuan rumah serta terancam sanksi.
“Anggaran persiapan sudah mencapai 1,4 Triliun. Bagaimana pertanggung jawabannya? Apa kepala daerah itu bisa tanggung jawab? Kalau sudah gaduh begini, kita dipermalukan di mata dunia,” kata Manajer PSS Sleman 1992-2004 itu. (rls/*)