JAKARTA (Kastanews.com): Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), Willy Aditya bersyukur RUU PPRT disahkan menjadi usulan inisiatif DPR RI. Pembahasan lebih lanjut bakal beleid ini diharapkan mengusung prinsip partisipasi dari semua pihak.
“Kita bersyukur, hari ini setelah dua tahun lebih akhirnya RUU PPRT disahkan sebagai usulan inisiatif DPR,” ujar Willy usai Rapat Paripurna yang mengesahkan RUU PPRT menjadi usulan inisiatif DPR, Selasa (21/3).
Legislator Partai NasDem ini berharap dalam pembahasan lanjutan nantinya bisa mengedepankan prinsip partisipasi dari seluruh kelompok masyarakat.
“Masyarakat sipil, akademisi, organisasi sosial kemasyarakatan, mahasiswa, semua akan kita minta pandangannya. Kenapa? karena ini menjadi benchmarking kedua setelah suksesnya UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Jadi ada partisipasi publik yang kuat di sana,” tandas Willy.
Menurut Willy, RUU ini memberikan harapan bagi para PRT yang selama ini termarjinalkan dan terpinggirkan. “Memberikan harapan bagi kelompok marjinal, kelompok yang selama ini cukup terpinggirkan, mengalami tindak kekerasan, pelecehan dan lain sebagainya,” imbuhnya.
Lebih lanjut Willy menjelaskan, pembahasan RUU PPRT di DPR akan dimulai setelah menerima Surat Presiden (Surpres) dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
“Sejauh ini presiden sudah cukup siap. Presiden sudah berstatment dengan political will yang luar biasa. Presiden juga sudah membentuk gugus tugas yang diketuai Wamenkumham (Edward Omar Sharif Hiariej),” jelasnya.
Wakil rakyat dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) ini pun berharap Presiden segera mengirim Surpres dan DIM agar pembahasan bisa segera dilanjutkan.
“Kami berharap presiden secepat mungkin mengirim Surpres dan DIM,” tukas Willy.
Willy juga membeberkan isu krusial terkait bakal beleid pelindungan pekerja domestik atau pekerja sosial itu.
Pertama, terkait split model dalam RUU PPRT. Split model yang dimaksud adalah pembagian pengaturan terkait PRT yang direkrut secara lansung oleh pengguna jasa dan yang direkrut secara tidak langsung atau melalui penyalur.
“Ini yang menjadi titik krusialnya dimana hasil dari beberapa kali proses penyusunan draf ini, masukan dari teman-teman pakar, Indonesia cukup berbeda dengan negara-negara industrialis,” ujar Willy.
Menurutnya, di negara industrialis, pekerja yang bekerja di sektor domestik mendapat hak yang setara dengan pekerja formal. Sedangkan di Indonesia, UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan belum mengakui adanya domestic/social worker.
“Hanya orang yang bekerja di sektor barang dan jasa yang dipandang sebagai pekerja,” imbuhnya.
Isu krusial kedua adalah terkait penyalur PRT. DPR mengusulkan penyalur tidak lagi berbentuk yayasan, namun berbentuk badan usaha yang berbadan hukum.
“Levelnya pun diturunkan dari provinsi menjadi kabupaten/kota untuk perizinan dan pengawasannya. Dimana bisa sedini mungkin, secermat mungkin untuk menghindari human trafficking,” ujarnya.
Selanjutnya adalah terkait keterlibatan pemerintah untuk mengintervensi Balai Latihan Kerja agar memberikan persyaratan minimum kepada PRT.
“Jadi kami sebutnya win win solution. Tidak hanya PRT yang diuntungkan, tapi juga pemberi kerja. PRT, pemberi kerja, dan pemerintah, ini tiga aktor penting yang kemudian sama-sama kita atur dalam RUU PPRT,” ujar Legislator dari Dapil Jawa Timur XI (Bangkalan, Pamekasan, Sumenep, dan Sampang) itu.
Lebih lanjut Willy menegaskan, setelah nantinya RUU PPRT disahkan menjadi UU tentu akan memberi pelindungan bagi pekerja domestik, termasuk yang ada di luar negeri.
“Domestic worker kita yang bekerja di luar negeri, buruh migran kita. Mereka langsung memiliki stand point terhadap dispute-dispute (sengketa) yang selama ini mandeg,” pungkasnya.(rls/*)