KASTANEWS.COM: Namanya Sigit Kuncoro. Tapi dalam rentang tertentu, dia sempet populer dengan nama Sigit ‘Ya Mas’ Kuncoro.
Dia karibku. Kreatif. Lucu. Friendly. Memiliki tanggung jawab tinggi. Rela berkorban.
Kehadirannya selalu dirindukan setiap kali kami kumpul-kumpul. Karena dengan keberadaannya, suasana dijamin agak ramai dengan gelak tawa.
Sigit memang sosok yang pandai melucu. Ulahnya selalu mengundang tawa. Di saat penat karena lelah bekerja, Sigit bisa menyajikan sesuatu yang di luar pikiran kami.
Aku mengenalnya mungkin sudah belasan tahun lalu. Saat kami bekerja di metro tv. Sebagai production assisten, Sigit terhitung multi talented. Hampir semua dia bisa. Mulai editor sampai menjadi sutradara.
Kelebihan inilah yang membuat Sigit relatif bisa diterima di banyak kalangan.
Pernah suatu ketika, kami harus liputan ke Surabaya. Setelah tugas selesai, masih ada waktu cukup untuk sekedar jalan-jalan. Kebetulan, saat itu baru saja diresmikan jembatan Suramadu. Maka tanpa disangka, munculah ide, untuk nyebrang Suramadu. Edunnya, setelah berada di seberang, kami hanya ngopi di warung-warung di seberang jembatan. Lalu kemudian kembali lagi.
Kekonyolannya tidak berhenti untuk hal-hal seperti itu. Wajahnya yang ‘seperti tanpa dosa’ kerap membuat teman-teman tergelak melihat gayanya.
Lihat gayanya. Dengan dandanan seperti itu, rasanya akan bisa membuat orang tergelak. Dan itu bisa terjadi di banyak waktu, di banyak tempat, di banyak kesempatan dalam kesempitan.
Sigit yang aku kenal tak pernah putus asa. Dia selalu menanamkan spriti dalam dirinya untuk terus bangkit. Dalam segala keterpurukan dia akan selalu untuk bangkit. Dengan berbagai cara. Dengan berbagai alasan. Orang yang memiliki prinsip akan terus seperti itu.
Move On adalah kata kunci bagi seorang Sgit.
Kami sempat hadir di ‘dukanya’. Saat putrinya dipanggil Sang Khalik, kami hadir ke Bogor. Wajah sedih dan sedikit memelas aku lihat dari raut muka wajah-wajah teman yang menuju rumah duka.
Namun apa yang terjadi, Sigit tak menampakkan kesedihan yang dalam. Sigit tidak tampak sedang menangis meraung-raung. Sigit justru menyambut kami dengan senyum. Meski aku melihatnya tetap ada duka di raut mukanya yang dalam. Tetap ada kepedihan di situ.
Begitupun saat dia menceritakan ikhwal kepergia putrinya. Ada sedih, tapi tidak larut.
Malah di beberapa saat, Sigit tetap melawak seperti hari-hari biasa. Itulah yang kemudian membuat kami tidak juga larut dalam kepedihan.
Begitupun misalnya saat dia tidak menyukai sebuah keadaan, terutama kecurangan, kelicikan, kesewenang-wenangan, kebohongan. Sigit akan melawan. Baik terang-terangan maupun secara diam-diam. Maka tak heran, bila mereview perjalanan kariernya, Sigit bisa berada di beberapa devisi meski berada dalam satu atap besar.
Sigit bisa melabrak atasan meski dia tahu resikonya. Itulah Sigit. Hingga pada suatu waktu, dia memutuskan untuk ke luar dari stasiun tv tempatnya berkarier.
Sigit tetap Sigit. Tetap kreatif mesti berada di stasiun tv yang berbeda. Perubahan yang signifikan. Konsisten pada profesi, membuatnya kini Insyallah hidup lebih baik.(*)