KASTANEWS.COM: Menyikapi hidup kerap kali memang tidak harus dengan tegang dan kaku. Rileks dan enjoy justru membuat hidup terasa cair. Mengalir seperti air, hakekatnya melakoni peran takdir Sang Khalik.
Seperti halnya Syam Hadi Wibowo. Bila pada umumnya untuk lulus dari SMA membutuhkan waktu 3 tahun, sosok kita satu ini justru memakan waktu hingga 4 tahun. Bukan hal yang aneh dan harus membuat kecil hati, tapi justru disitulah letak kesejatian memerankan sosok anak manusia yang diyakini seorang Syam.
Sewaktu masih duduk di bangku kelas I SMA 24KJ, Syam ada di kelas I-5. Atau sebelumnya duduk di kelas IPS-1 sebelum menjadi A3-1. Namun setelah itu, sosok penuh humor tapi banyak mau ini lulus dari kelas III-A3.1.
Semasa masih menggunakan seragam abu-abu, Syam terhitung anak yang kreatif. Satu majalah sempat lahir dari kreatifitasnya itu. Namanya Swara Maharjono. Terinspirasi oleh kepopuleran Swara Mahardika yang memang nge-top di tahun 80an. Majalah itu diketiknya sendiri, dia gandakan sendiri dan dia edarkan sendiri ke temen-temen SMA 82 dengan harga jual terjangkau.
“Jadi waktu itu kan lagi ngetop-getopnya Swara Mahardika. Gue bikin aja Swara Maharjono, gue plesetin. Sayangnya waktu itu gue cuma kuat bikin dua edisi,” kenang Syam.
Belum lagi aktifitasnya sebagai pecinta alam, sosok humoris ini salah seorang penggiat Exispal 24KJ. Banyak gunung yang sudah didaki, tak terkecuali gunung kehidupan yang masih terus dia daki hingga hari ini.
“Gue banyak pelajaran dari Exispal, itu yang udah bikin gue bisa menjalani hidup sampai hari ini. Naik gunung itu capek, tapi kita harus berusaha keras sampe dipuncaknya. Perjuangan sampe ke puncak itu ya capek, tapi kita harus sampe. Dan begitu sampe, ada ‘sesuatu’ yang gak bisa digambarin. Adanya di dalam hati kita. Tapi perjuangan sampe ke puncak itu seperti perjuangan menjalani hidup,” ujar Syam serius. Tumben serius.
Selepas lulus dari SMA N 82 Jakarta, di saat banyak temannya mencari kampus ke sana-sini, Syam justru sibuk mendapatkan uang pendaftaran untuk pembelian formulir. Tapi tak satupun formulir dari kampus-kampus di Indonesia ini yang dia beli. Alhasil, Syam memang tidak masuk kampus mana-mana. Syam telah memutuskan untuk tidak kuliah.
“Makanya bokap gue bingung, masa sih dari sekian banyak kampus gak ada satupun kampus yang mau nerima gue kuliah,” ujar Syam sambil terkekeh. “Ya gimana mau nerima, lha gue gak pernah daftar di kampus mana-mana,” tambah Syam sambil tergelak.
Tapi itulah Syam Hadi Wibowo, kerap kali seperti terlihat mempermainkan hidupnya sendiri. Meski sesungguhnya, Syam adalah sosok yang cerdik, friendly, dan banyak akal.
Prinsip hidup yang mengalir seperti air, tidak menyurutkan dirinya untuk menjalani hidup. Di tengah teman-temannya menuntut ilmu di bangku kuliah, Syam justru sudah berkubang dengan kehidupannya. Usaha apapun dia lakukan. Mulai dari soal lukisan sampai percetakan.
“Gue tuh sampe punya kios percetakan di Aldiron dulu, yang di bawah itu lho. Itu gue joint sama temen gue,” kenang Syam mengkisahkah perjalannya.
Namun sayang, jalan tak terus lurus. Adakalanya jalan harus berkelok untuk sampai di tujuan. Usaha yang dibangunnya dengan susah payah itu harus berhenti mendadak. Tepat pada Senin pagi, 29 Agustus 2005, Aldiron Plaza hangus terbakar.
Di saat terpuruk, Syam seperti tidak menghadapi persoalan berat dalam hidupnya. Bahkan saat itu, Syam yang menikah tahun 1993, sudah dikaruniai tiga orang anak. Sang istri sempat bingung menyaksikan sang suami yang begitu santai menjalani hidup. Seperti tak punya persoalan.
“Jadi dalam kondisi nganggur gak punya kerjaan, pas makan malam, istri gue liat, kok gue makan lahap bener, kayak gak punya persoalan hidup. Makanya saat makan itu istri gue nanya, ‘mas kok bisa ya makan sebegitu lahapnya’,” kenang Syam.
Sebagai laki-laki dan kepala rumah tangga, Syam merasa terbakar dengan sindiran itu. Sebagai suami yang bertanggungjawab, dirinya seperti marah pada dirinya sendiri. Sindiran sang istri membuatnya harus berbuat sesuatu agar kesejatian kelaki-lakiannya tidak diusik.
“Besoknya, gue kumpulin tuh surat-surat, ijazah dan segala macem. Gue ngelamar jadi sopir blue bird. Eh diterima,” ujar Syam lagi.
Maka sejak saat itu, Syam menjadi sopir Blue Bird hingga tiga tahun lamanya. Persoalan seperti teratasi. Setoran ke istri dapat dipenuhi meski tidak berlebih.
Sebagai pegawai, sosok yang kini berat badannya sudah cukup subur, bekerja dengan sangat baik. Pekerjaan itu dia tekuni dengan sungguh-sungguh. Setidaknya ini dibuktikan dengan prestasi yang diperolehnya dari Blue Bird sebagai pengemudi terbaik.
Sayangnya, ketika transportasi on line diberlakukan, pendapatan Syam jauh menurun. Penurunannya bahkan nyaris lebih dari 300%.
“Kalau seperti ini gue gak bisalah. Dari yang tadinya gue bisa kasih bini gue 150 ribu setiap hari, masa bawa modal 50 ribu begitu pulang bawa duitnya cuma 50 ribu lagi,” kata Syam.
Kondisi itu yang akhirnya harus membuat Syam harus mundur sebagai pengemudi. Syam sekarang tampak religius. Setidaknya tidak meninggalkan sholat limat waktu. Bahkan dalam satu minggu, Syam punya jadwal mengaji tiga kali.
Kini Syam terus bergerak di bidang percetakan dan rental mobil.
“Jadi usaha ini gue coba bangun sama temen lama. Maunya sih banyak. Gue yang ngerti soal percetakan nerusin percetakannya, nah temen ini kayaknya ngerti urusan video shooting sama bikin web, jadi bidang itulah yang coba mau dikejain,” papar Syam penuh semangat.
Dengan apa yang akan dikerjakannya ini, Syam tentu berharap usahanya bisa berjalan dengan baik. Oleh karenanya, dukungan teman-teman dan orang-orang yang dikenalnya bisa mensuport usahanya kali ini.
“Insyaallah ini usaha bisa jadi hal baik buat semua. Bukan aja buat gue atau temen usaha gue, tapi juga temen-temen lain yang mungkin bisa dibantu dengan adanya usaha ini,” harap Syam.
Mengalir seperti air, itulah Syam. Tak muluk dengan apa yang akan dikerjakan. Semua terlihat turukur dengan kemampuan yang dimilikinya. Niat baik untuk saling membantu adalah modal besar dalam melakukan usaha. Apapun bentuk usahanya.(karib)