Oleh Gantyo Koespradono
KASUS polisi bunuh polisi yang memunculkan dugaan yang tidak-tidak di masyarakat, ibarat drakor, terus memunculkan episode-episode baru.
Meskipun fakta di TKP (tempat kejadian perkara) sudah jelas (ada korban dan terduga pelaku), kasus yang menurut mereka yang tahu duduk perkara kriminalitas, sudah terang benderang, kenyataannya sampai saat ini masih “misterius”, atau dibuat misterius?
Orang awam, apalagi mahasiswa krimonologi, pasti mengetahui dan mampu mengurai kasus tersebut tanpa harus membuka referensi berupa buku-buku setebal bantal di perpustakaan kampus.
Kasus tersebut akhirnya menjadi rumit sebab di awal tersiar informasi aspal (asli tapi palsu) yang (maaf) mengganggu akal sehat masyarakat.
Alkisah, peristiwa Prada E (ajudan Irjen Ferdy Sambo) membunuh Brigadir Yosua (ajudan istri Sambo) bermula karena Yosua (katanya) berusaha melakukan pelecehan seksual terhadap istri Sambo dengan menodongkan pistol.
Melihat itu, masih menurut polisi berdasarkan rilis resmi polisi, Prada E mencegah, tapi Yosua malah menembak Brada E. Tapi, eh, peluru meleset. Membela diri (logikanya sih begitu), Prada E gantian menembak Yosua, dan kena. Yosua tewas.
Benarkah? Kita tidak tahu. Hanya Tuhan dan orang-orang berkepentingan yang kebetulan berada di rumah dinas Sambo di kawasan Duren Tiga, Jakarta Selatan, yang paling tahu.
Yosua berusaha melakukan pelecehan terhadap istri Sambo? Karena yang bersangkutan sudah tewas, orang-orang yang berkepentingan tentu bebas mengarang cerita. Apalagi dalam kasus tersebut, Yosua sendirian, bukan kelompok dan ada yang melarikan diri sehingga bisa membantah informasi sepihak polisi yang mungkin saja dikarang polisi.
Nah, kecurigaan ada “karangan bebas” inilah yang memunculkan ketidakpercayaan masyarakat. Apalagi setelah Prada E, seperti diberitakan Majalah TEMPO, mengaku ia tidak sendirian dalam melakukan aksinya “membunuh” Yosua.
Masyarakat sendiri berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dan ditafsirkan sendiri-sendiri sepertinya mencurigai dan mengharapkan Sambo ditetapkan sebagai tersangka setelah diperiksa tim khusus yang dibentuk Kapolri
Tidak fair, sih. Namun, bahwa di sana sini terdapat informasi palsu yang berawal dari kebohongan atas kasus tersebut, tidak bisa kita mungkiri, sehingga mengakibatkan kasus yang faktanya terang benderang itu menjadi rumit. Gelap.
Oleh sebab itu saya bisa memahami jika pakar komunikasi dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menyarankan tim investigasi khusus yang dibentuk Kapolri perlu menggunakan pendekatan instrumen scientific crime investigation (SCI) dalam mengungkap kasus tersebut.
Dengan SCI, menurut Emrus, akan meredam berbagai asumsi liar terhadap peristiwa berdarah yang terjadi di rumah dinas Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan atau Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo.
“Menurut saya, satu-satunya cara menuntaskan kasus ini adalah dengan pendekatan scientific crime investigation yang lepas dari pengaruh jabatan dan kepentingan lainnya,” tegas Emrus.
Untuk meminimalisasi pihak-pihak berbohong saat dimintai keterangan, Mabes Polri sebenarnya punya alat polygraph/lie detector (pendeteksi kebohongan). Namun, sampai sedemikian jauh, masyarakat tidak mengetahui, dalam kasus apa alat itu digunakan oleh polisi?
Yang saya ketahui, teman saya seorang polisi, Lukas Budi Santoso, pernah belajar “ilmu membongkar kebohongan” di American Polygraph Institute yang diakui oleh Asosiasi Polygraph Amerika dan di Mabes Polri dipercaya mengoperasionalkan alat tersebut.
Tidak mengaitkan dengan kasus yang kini dibicarakan di mana-mana, Lukas dalam tulisannya di Kompasiana, mengungkapkan, sudah sejak zaman dulu kala seseorang kalau bersalah cenderung berbohong sebagai bentuk pertahanan diri (defend menchanism).
Alkisah pada zaman kaisar China kuno, begitu tulis pensiunan forensik Polri ini, tatkala seorang hakim menghadapi kasus yang pelik karena minim alat bukti dan semua yang dicurigai tidak ada yang berkata jujur sehingga hakim mengalami kesulitan mengetahui siapa pelakunya, maka hakim akan melakukan uji kebohongan.
Satu per satu yang dicurigai dipanggil oleh hakim dan diberikan tepung kering untuk dimasukkan ke mulut dan tidak boleh ditelan. Setelah itu mereka ditanya terkait dengan kejahatan yang disangkakan.
Hakim lalu minta orang-orang yang dicurigai tadi menyemburkan tepung yang ada di mulutnya. Hakim dengan cermat mengamati semburan tepung dari orang-orang itu. Dari tepung ini, menurut Lukas Budi Santoso, hakim dengan mudah bisa memastikan siapa pelakunya.
Lho, kok bisa? Lukas menjelaskan, hakim hanya mengamati semburan tepung. Siapa yang menyemburkan tepung namun tetap kering, itulah yang bersalah.
Pendekatan ini, menurut Lukas, ternyata bisa dijelaskan secara ilmiah. Saat seseorang takut terdeteksi berbohong, mulutnya akan kering karena mengalami hambatan untuk menghasilkan air liur, sehingga tepung tetap kering pada saat disemburkan dari mulut.
Jika cara hakim China itu diterapkan di zaman metaverse, apalagi untuk mengungkap kasus Duren Tiga, tentu akan ditertawakan banyak orang. Lalu solusinya? Ya dengan pendekatan ilmiah. “Gunakan pendekatan ilmiah/scientific. Polygraph atau lie detector adalah instrumen yang dapat merekam perubahan reaksi tubuh akibat takut terdeteksi. Polygraph juga dilengkapi dengan sensor-sensor untuk mendeteksi perubahan fisik dari tubuh yang diuji,” tulis Lukas.
Saya pikir, untuk mengungkap kasus Duren Tiga, pendekatan ilmiah, baik yang disarankan Emrus Sihombing maupun Lukas Budi Santoso perlu dilakukan. Jangan sampai kasus polisi bunuh polisi di Duren Tiga berubah menjadi kasus polisi bunuh polisi dibunuh polisi. Semoga polisi tetap presisi. Kepercayaan dalam kasus ini mahal harganya.[]