KASTANEWS.ID, JAKARTA: Secara empirik Indonesia mampu memproduksi kacang kedelai sesuai kebutuhan domestic dengan memanfaatkan lahan pasang surut yang berada di sekitar pasar utama wilayah Jawa, namun political will pemerintah lebih menentukan keberhasilan upaya swasembada daripada persoalan teknis baik terkait dengan lahan, varietas dan pembiayaan bagi petani, kata dosen manjemen agribisnis Universitas IPB, Prima Gandi.
Untuk bergerak ke arah swasembada, seperti halnya yang telah diamanatkan oleh Presiden Joko Widodo, menurutnya bisa saja diupayakan dengan dibarengi sinkronisasi data seputar supply dan demand plus diikuti kejelasan seputar masa depan komoditas kedelai. Hal ini penting untuk memikat petani agar bersedia menanam kedelai.
“Pemerintah bisa memetakan kebutuhan riil kedelai. Dan karena kedelai tidak dikonsumsi rumah tangga secara langsung, bisa diketahui secara presisi kebutuhan di dalam negeri lewat koperasi-koprasi pengrajin tahu dan tempe,” ujar Prima.
Dengan memberikan kepastian pada dua faktor tadi, berikutnya bisa dimulai untuk memanfaatkan lahan-lahan kosong yang dimiliki tiap pemerintah daerah, untuk dijadikan sentra komoditas kedelai. Prima sendiri mengatakan bahwa Indonesia memiliki sejumlah lembaga riset yang mampu menciptakan varietas-varietas kedelai yang layak ditanami sesuai dengan kondisi geografis tiap daerah.
“Di IPB pun sudah ada sejumlah varietas unggul yang siap dibudidayakan,” ujarnya.
Namun Prima menggarisbawahi pentingnya upaya mendekatkan jarak antara sentra komoditas kedelai dan pusat industri pengrajin tahu, tempe maupun kecap sebagai pasar utama. Di sinilah dibutuhkan akurasi data pasar dan demand produk kedelai.
Dengan kedekatan antara sentra komoditas kedelai dengan para pengrajinnya, tentunya akan didapatkan tingkat cost yang lebih rendah di sisi distribusi. Keamanan pasokan pun bisa terjamin karena para petani kedelai tahu secara pasti berapa volume kedelai yang dibutuhkan oleh para pengrajin di daerah mereka masing-masing.
“Logika ekonomi yang sederhana, satu daerah bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri akan meningkatkan efisiensi produk.”
Namun demikian Prima menyebut upaya ini bukan hal yang bisa dilakukan seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu untuk menciptakan skema budi daya kedelai yang kondusif bagi petani dan konsumen. Sebelum hal itu tercapai, maka pemenuhan kebutuhan pasar domestik dengan cara impor masih menjadi sebuah keniscayaan.
Menurut Prima Gandhi, saling sengkarut persoalan kacang kedelai ini sebenarnya dapat dicarikan solusi yaitu dengan meningkatkan produksi seperti yang terjadi pada sebelum tahun 1997.
‘’Saya kira kita memiliki lahan cukup luas, yaitu area pasang surut. Akademisi IPB telah menemukan varites unggul yang bisa ditanam di daerah ini,’’ ujarnya sembari menambahkan bahwa sebenarnya persoalan lahan, bibit maupun pembiayaan bagi petani tidak serumit dengan persoalan komitmen atau political will pemerintah.
Prima menambahkan, agar Indonesia bisa kembali mencukupi kebutuhan kedelai di pasar domestic sebagaimana terjadi pada sebelum 1997, sedikitkan diperlukan waktu selama 30 tahun ke depan.
‘’Hal itupun dengan catatan harus ada peta jalan yang rigit dan terukur, serta stimulus bagi para petani untuk bisa berproduksi dengan kondisi yang masih tidak normal,’’ katanya.
Menurut dia, sebelum tahun 1997 Indonesia mampu mencapai swasembada kedelai untuk memenuhi kebutuhan domestic baik untuk keperluan pangan maupun non pangan. Secara historis peningkatan impor kedelai terjadi pasca pemerintah Indonesia menandatangani Letter of Intent (LoI) International Monetary Fund (IMF) pada tanggal 31 Oktober 1997.
‘’Sebelum adanya LoI IMF impor kedelai dikenakan bea masuk sebesar 30 % dan hanya dapat dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (Bulog). Setelahnya impor kedelai dapat dilakukan tanpa bea masuk, kapanpun dan oleh siapapun, tidak hanya Bulog. Mulailah, kedelai genetically modified organism (GMO) yang mayoritas berasal dari Amerika membanjiri pasar dalam negeri. Dengan harga yang lebih murah berlaku hukum ekonomi yang membuat produsen tahu dan tempe memilih membeli kedelai impor dibanding kedelai local,’’ ujarnya.
Menurut dia, liberalisasi perdagangan membuat petani beralih dari menanam kedelai ke komoditas pertanian lainnya seperti padi dan jagung. Dampaknya jumlah petani Indonesia yang membudidayakan tanaman kedelai berkurang. Akibatnya terjadi tren penurunan jumlah lahan dan produksi kedelai dalam negeri, dimana tahun 1997 produksi kedelai sebesar 1,3 juta ton dengan luas lahan 7,58 juta dan pada tahun 2019 dengan luas lahan 0,28 juta hanya mampu memproduksi 0,42 juta ton.
Dari data time series diketahui jumlah produksi dibawah 1 juta ton terjadi sejak tahun 2000-an. Sementara itu, data Kementerian Pertanian (23/2) menunjukkan bahwa produksi kedelai dalam negeri pada 2021 sebesar 215.000 ton. Sementara kebutuhan kedelai dalam negeri rata-rata mencapai 9, 2 juta ton. Dimana7, 2 juta ton berupa bungkil dan bubuk sisanya kedelai segar hampir 2 juta ton. Ini artinya ketersediaan kedelai Indonesia 90 % lebih dipenuhi dari impor.
Sementara itu, Profesor Munif Ghulamahdi mengatakan, IPB memiliki teknologi budidaya kedelai yang cocok ditanam di lahan pasang surut. Dengan begitu, Indonesia bisa memproduksi bahan baku kedelai sendiri.
“Dalam mendukung teknologi BJA, diperlukan adanya tata kelola kawasan produksi BJA serta menjamin tersedianya benih unggul dan sarana produksi lainnya,” kata Munif dikutip dari laman resmi IPB.
Adapun, teknologi tersebut berupa budidaya jenuh air (BJA) kedelai. Menurutnya teknologi ini mampu memberikan irigasi secara terus menerus dan membuat muka air tetap tenang.
Lebih lanjut, kata dosen dari Departemen Agronomi dan Hortikultura, bila teknologi ini dikembangkan dengan menggunakan benih kedelai unggul maka potensi produktivitasnya bisa mencapai 4,63 ton per hektar.
Sedangkan, bila dilakukan di lahan pertanian tipe luapan dengan area 500 hektar maka potensi produksi bisa mencapai 2,6 ton per hektar.
Ia memaparkan pada tahun 2021, produksi kedelai dari lahan non pasang surut hanya sebesar 200.000 ton. Sedangkan, sebanyak 2,4 juta ton dipenuhi dengan menggarap lahan pasang surut di area tanam 1 juta hektar.
Padahal, kata Munif, Indonesia memiliki lahan pasang surut seluas 20 juta hektar. Ia pun menilai, bila lahan tersebut dimanfaatkan bisa mencukupi kebutuhan nasional.
“Apabila 5 persen saja dari lahan pasang surut tersebut dimanfaatkan untuk budidaya kedelai, diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan nasional,” ucap Munif.(rls/red).