JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Di tengah laju kencang adopsi kendaraan listrik yang sedang menggila, penghentian insentif fiskal oleh pemerintah tahun depan mengancam akan mengerem paksa revolusi hijau ini hingga tergelincir.
Ya, pemerintah Indonesia akan menghentikan insentif untuk mobil listrik impor utuh (CBU) di akhir tahun 2025, sesuai pernyataan Kemenperin dan Menko Perekonomian, untuk mendorong investasi produksi lokal dan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).
Kebijakan ini akan mengakhiri diskon bea masuk dan PPnBM untuk EV impor, mengalihkan fokus ke produsen dalam negeri dengan TKDN tinggi, dan akan diterapkan mulai awal 2026.
Yang Dihentikan: Insentif seperti bea masuk 0% dan PPnBM 0% untuk mobil listrik CBU impor yang selama ini dinikmati merek seperti BYD dan VinFast. Waktu Penghentian: Berakhir Desember 2025, tidak diperpanjang untuk tahun 2026.
Tujuan Utama: Mendorong pabrikan untuk membangun pabrik di Indonesia, meningkatkan TKDN (wajib 40% mulai 2026), dan mengurangi ketergantungan impor. Dampak yang Diharapkan: Pasar akan beralih ke produk lokal yang memenuhi syarat TKDN, mendukung ekosistem EV nasional.
Pemerintah masih memberi subsidi PPN DTP 10% untuk mobil listrik yang diproduksi di dalam negeri dengan TKDN minimal 40%. Head of PR & Government Relations PT BYD Motor Indonesia, Luther T. Panjaitan, mengakui secara blak-blakan bahwa intervensi kebijakan fiskal adalah motor penggerak utama.
Data penjualan berbicara jujur. Sejak awal 2024 hingga kini, BYD sukses mendistribusikan 47.000 unit mobil listrik ke tangan konsumen. Angka fantastis bagi pendatang baru ini mustahil dicapai jika harga jual tidak ditekan oleh subsidi pajak.
“Tentunya kita harus akui bahwa salah satu motor atas tren positif EV ini adalah insentif dan kebijakan yang ditetapkan pemerintah,” ujar Luther.
Kekhawatiran muncul ketika “motor” tersebut dimatikan. Tanpa perpanjangan kebijakan, Luther mengaku kurang percaya diri (confidence) pertumbuhan pesat (rapid growth) seperti saat ini bisa terulang tahun depan.
Logika Terbalik Kebijakan Luther menyoroti saat insentif dihentikan. Berkaca pada pasar global, negara-negara maju justru menambah atau menyesuaikan insentif ketika melihat respons pasar yang positif, bukan malah menghentikannya.
Keberhasilan insentif menarik minat pasar seharusnya menjadi sinyal bagi investor untuk menanamkan modal, yang pada akhirnya memutar roda ekonomi negara lebih kencang. “Jika pertumbuhannya cukup baik, malah bisa dibikin lagi satu pengembangan dan penambahan,” tegasnya, menyiratkan harapan agar pemerintah tidak mengambil langkah mundur.
Saat ini, “napas” industri mobil listrik ditopang oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2025. Aturan ini memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 10 persen.
Artinya, konsumen hanya perlu membayar PPN sebesar 1 persen dari yang seharusnya 11 persen. Syaratnya pun ketat dan menguntungkan industri lokal: mobil tersebut harus diproduksi di dalam negeri dan memiliki Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) minimal 40 persen.
Jika insentif 10 persen ini dicabut, harga mobil listrik dipastikan akan melambung signifikan, membuat selisih harga dengan mobil bensin kembali menganga, dan berpotensi membuat konsumen membatalkan niat beralih ke kendaraan ramah lingkungan.(rah)
