Identitas Kultural yang Khas, Papua Bakal Setara Serambi Mekkah dan Pulau Dewata

Identitas Kultural yang Khas, Papua Bakal Setara Serambi Mekkah dan Pulau Dewata

JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (KEPP Otsus Papua) berencana mengundang Presiden Prabowo Subianto untuk menghadiri perayaan Natal di Papua. Agenda tersebut akan disampaikan langsung dalam pertemuan seluruh anggota komite bersama Presiden Prabowo, yang dijadwalkan berlangsung pekan depan.

Anggota Komite Eksekutif Yanni, menyampaikan harapannya agar Presiden dapat meluangkan waktu untuk hadir. Yanni menilai kehadiran Presiden akan menjadi simbol dukungan moral bagi masyarakat Papua.

“Akan lebih istimewa apabila Presiden sekaligus mengumumkan penobatan Papua sebagai Tanah Injili yang Diberkati,” ujar Yanni, Rabu (10/12/2025).

Yanni menjelaskan, penobatan Papua sebagai Tanah Injili yang Diberkati dapat memberi wilayah itu identitas kultural yang khas, setara dengan julukan “Serambi Mekkah” untuk Aceh atau “Pulau Dewata” untuk Bali.

Gelar tersebut, merupakan simbol integrasi antara nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan. Pengakuan semacam itu, lanjut Yanni, dapat menjadi penegasan sikap negara terhadap keberagaman budaya dan agama.

“Indonesia tidak homogen. Negara memberi ruang bagi kekhasan identitas lokal, dan inilah esensi Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.

Ia menambahkan, penobatan tersebut tidak dimaksudkan untuk mengurangi hak komunitas agama lain, melainkan mempertegas pluralisme yang telah lama hidup di Papua dan menjadi khazanah bangsa Indonesia.

Sebagian penjelasan Yanni diperkuat kembali dalam wawancara lanjutan pada Rabu, 10 Desember 2025, saat ia merespons beberapa pertanyaan wartawan mengenai agenda komite dan arah kebijakan Otsus. Saat rapat komite, Yanni kembali menekankan gagasannya agar dana Otsus Papua disalurkan langsung kepada rakyat melalui skema Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Ia menilai model penyaluran berbasis transfer langsung dapat meminimalkan kebocoran anggaran yang selama ini terjadi akibat tata kelola pemerintahan yang belum optimal. “Dengan BLT yang adil, kualitas hidup masyarakat Papua dapat terangkat. Pembangunan manusia adalah inti kesejahteraan dan kunci keberhasilan Otonomi Khusus,” ujar Yanni.

Menjawab pertanyaan wartawan mengenai mekanisme penyaluran BLT Otsus, Yanni menyebut perlunya aturan yang rinci, jelas, dan tidak menimbulkan ambiguitas. Salah satu opsi adalah memberikan dana tersebut langsung ke rekening setiap Orang Asli Papua (OAP) berusia 17 tahun ke atas.

“Katakanlah setiap orang menerima satu juta rupiah. Itu bisa dipakai bayar uang sekolah, pakaian, transportasi, bahkan makanan. Jika satu keluarga ada lima orang, maka totalnya lima juta rupiah, itu sangat terasa manfaatnya,” kata Yanni.

Ia menegaskan bahwa dana Otsus juga dapat dinikmati OAP yang bekerja sebagai TNI/Polri maupun ASN. Sementara guru, tenaga kesehatan, tokoh adat, dan tokoh agama dapat memperoleh alokasi lebih besar mengingat peran sosial mereka.

Masih menurut Yanni, dirinya menolak anggapan bahwa pemberian uang tunai akan menciptakan ketergantungan atau disalahgunakan. Dia pun keberatan dengan stigma negatif yang dilontarkan pihak tertentu terhadap orang Papua sebagai “pemabuk” atau “pemalas”.

Secara skeptis, ia mengatakan tidak perlu bagi-bagi uang karena itu sama saja memberi ikan, padahal harusnya memberi pancing. Terkait pandangan tersebut Yanni menekankan bahwa pendekatan “pancing” sudah diterapkan dan berlangsung selama 24 tahun, serta menghabiskan anggaran Otsus yang mencapai sekitar Rp 200 triliun.

“Selama 24 tahun ini yang diberikan adalah ‘pancing’, tetapi dampaknya belum seperti yang diharapkan. Kesejahteraan rakyat tidak tercapai. Karena itu perlu dicoba pendekatan baru berupa BLT, supaya rakyat merasakan langsung,” ujarnya.

Dalam rapat komite yang sama, Yanni juga mengingatkan perlunya kewaspadaan terhadap potensi bencana alam di Papua. Ia menyoroti banjir besar yang belakangan melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

“Tidak tertutup kemungkinan Papua mengalami hal serupa. Jayapura, Manokwari, dan Pegunungan Arfak pernah mengalami banjir bandang dan longsor yang memakan banyak korban jiwa,” katanya.

Ia menegaskan perlunya penindakan tegas terhadap aktivitas illegal logging, illegal mining, dan illegal fishing yang menurutnya masih terjadi di sejumlah daerah. Yanni mengaku menyaksikan langsung kegiatan pembalakan liar di Sarmi Papua yang diduga melibatkan oknum tertentu.

Pengerukan gunung secara ugal-ugalan menurutnya juga perlu diawasi. Jika tidak diantisipasi, lanjut Yanni, Papua bisa porak-poranda. Dia mengajak semua pihak untuk menyelamatkan generasi masa depan dan habitat alam yang indah di tanah Papua.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *