JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pembatasan jabatan Ketua Umum (Ketum) Partai Politik (Parpol). Gugatan ini terkait Pasal 22 Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik (UU Parpol).
Namun amanat tersebut harus dituangkan dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga suatu partai politik. Dengan konstruksi norma Pasal 22 UU Parpol, jalan untuk musyawarah mencapai mufakat menjadi pilihan pertama yang seharusnya dilakukan dalam proses pengisian kepengurusan partai politik.
Sidang pengucapan putusan Nomor 194/PUU-XXIII/2025 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo ini digelar pada Kamis (27/11/2025).
“Dalil Pemohon yang menghendaki pembatasan periodisasi masa jabatan pimpinan partai politik dengan mendasarkan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUUXX/2022 adalah tidak tepat,” kata Hakim MK Daniel Yusmic.
Lebih lanjut dalam pertimbangan hukum Mahkamah menyebutkan bahwa, sebagai salah satu badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksudkan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, organisasi advokat tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan organisasi lain, termasuk secara vis a vis mempersamakan dengan organisasi partai politik.
Selain itu, sambung Daniel, berbagai kemungkinan model pengisian kepengurusan partai politik harus diatur secara eksplisit dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga partai politik.
Pada titik itu, ruang untuk melakukan perbaikan proses pengisian partai politik dapat dilakukan oleh setiap anggota dalam perumusan materi atau substansi anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga partai politik.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, dalil Pemohon berkenaan dengan pembatasan masa jabatan kepengurusan partai politik sebagaimana pada frasa “dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai AD dan ART” dalam Pasal 22 UU 2/2008 dengan menggunakan logika pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XX/2022 perihal periodisasi masa jabatan pimpinan organisasi advokat bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum.
Berikutnya, terhadap persoalan konstitusionalitas frasa “tidak tercapai” dalam norma Pasal 33 ayat (1) UU Parpol yang menurut Pemohon menimbulkan ambigu dan multitafsir, Mahkamah sebelumnya pernah mempertimbangkan dan memutus frasa “tidak tercapai” dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XIII/2015.
Bahwa untuk memahami Pasal 33 ayat (1) UU 2/2011 harus didahului dengan memahami substansi Pasal 32 UU Parpol yang memiliki makna penyelesaian perselisihan partai politik yang bersifat internal dilakukan oleh suatu Mahkamah Partai yang harus diselesaikan paling lama 60 hari.
Sekalipun dalam permohonan Pemohon ini terdapat alasan yang berbeda untuk menegaskan atau memperjelas kapan pengadilan negeri berwenang atau dalam keadaan seperti apa pengadilan negeri telah berwenang untuk mengadili sengketa internal partai politik, yang beririsan dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) UU Parpol.
Artinya, kata Daniel, batasan waktu 60 hari dimaksud harus dipahami sebagai batas waktu paling lambat bagi Mahkamah Partai Politik untuk menyelesaikan sengketa internal partai politik sejak perselisihan diajukan oleh anggota partai politik kepada Mahkamah Partai Politik.
Jika dalam jangka waktu dimaksud tidak tercapai penyelesaian perselisihan maka pihak-pihak yang berselisih dapat menempuh upaya lain termasuk memilih jalur hukum.
“Terhadap dalil Pemohon a quo, Mahkamah belum memiliki alasan yang kuat dan mendasar untuk mengubah pendirian sebagaimana tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XIII/2015,” ujar Daniel.(rah)
