JAKARTA (Kastanews.com): Anggota Komisi VI DPR RI, Asep Wahyuwijaya, menyoroti sejumlah persoalan strategis dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI DPR dengan Direksi PT Pertamina (Persero) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (19/11/2025). Dalam rapat tersebut, ia menekankan pentingnya akurasi penerimaan negara, transisi energi, hingga pentingnya penyederhanaan struktur bisnis Pertamina yang dinilai terlalu gemuk.
Legislator Partai NasDem itu menilai paparan mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang disampaikan Pertamina masih jauh dari memadai dan belum menggambarkan persoalan secara menyeluruh.
“Saya kira angka PNBP yang dipaparkan terlalu menyederhanakan persoalan. Bagaimana mungkin PPN yang jelas termasuk dalam kategori pajak dimasukkan sebagai bagian dari PNBP yang dihasilkan Pertamina,” ujar Asep.
Anggota legislatif dari Dapil Jabar V (Kabupaten Bogor) itu juga menyoroti persoalan akurasi dan transparansi tata kelola produk migas, mengingat potensi kebocoran dan selisih produksi dalam rantai produksi hulu hingga hilir yang dapat berdampak pada penerimaan negara, namun belum terpetakan dengan baik.
Kalau dalam ekonomi makro, ada istilah shadow economy di mana terdapat aktivitas ekonomi besar yang tersembunyi yang tidak dapat dibukukan atau dicatat secara resmi dan berada di luar jangkauan perpajakan serta regulasi.
“Saya kira di Pertamina pun aktivitas yang termasuk ke dalam shadow economy ini bisa saja terjadi. Secara teknis, produk material minyak mentah dari hulu sampai menjadi minyak matang yang menjadi BBM di hilir ini kan hasilnya pasti tidak satu banding satu kan? Ada hal yang tidak terlihat atau diskrepansi dalam proses produksinya yang berpotensi tidak terbukukan. Perhitungan inilah yang dikategorikan sebagai unaccounted quantity yang perlu didalami dan dilakukan risetnya oleh Pertamina agar hasilnya menjadi presisi dan berpotensi menjadi PNBP Pertamina,” papar Ketua Energi & Mineral DPP Partai NasDem itu.
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran itu pun mengingatkan tentang rencana Pertamina mengambil posisi lebih agresif dalam pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Menurutnya, total cadangan minyak nasional baik yang terbukti atau pun belum diperkirakan hanya akan bertahan sampai 20 tahun ke depan memerlukan perhatian khusus dari Pertamina.
“Jika tidak ditemukan lagi potensi cadangan minyak baru, maka grand desain dan peta jalan Pertamina untuk melakukan proses transisi terhadap produksi bahan bakar minyak yang bersumber dari energi baru dan terbarukan harus dimulai secara kongkrit dan komprehensif sejak dari sekarang,” tukasnya.
Selain itu, legislator yang akrab disapa Kang AW itu menyoroti rencana restrukturisasi di lingkungan Pertamina yang memiliki lebih dari 200-an anak dan cucu perusahaan. Kondisi itu bukan hanya mengganggu efisiensi, tetapi juga berpotensi mengurangi pendapatan negara.
“Setahu saya ada 200-an lebih anak cucu perusahaan di lingkungan Pertamina yang berpotensi mengurangi pendapatan negara,” jelasnya.
Asep menekankan bahwa penyederhanaan struktur atau streamlining harus menjadi langkah prioritas agar tata kelola perusahaan lebih efektif dan efisien. Di akhir pernyataanya ia meminta Pertamina menyampaikan rencana konkret mengenai berapa jumlah entitas usaha yang akan dipertahankan dan berapa yang perlu direstrukturisasi untuk mengoptimalkan kontribusi BUMN tersebut terhadap negara.
“Jadi ke depan, rencana restrukturisasi Pertamina bukan hanya bicara merger di tingkat anak perusahaan atau rumah sakit dan Pelita Air yang akan digabungkan dengan Garuda, tapi dari 200-an anak hingga cucu dan cicit perusahaan itu akan jadi berapa perusahaan yang tersisa dan berapa potensi efisiensi dan penyelamatan uang negara yang berhasil dilakukan,” pungkasnya. (RO/*)
