JAKARTA (kastanews.com): Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Rachmat Gobel, meminta agar Menteri Perdagangan Budi Santoso jangan berpangku tangan dan diam saja menyaksikan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang sedang berjuang memerangi impor pakaian bekas.
“Mendag harus bantu Menkeu. Ini untuk melindungi UMKM di bawah, di desa, dan untuk membuka lapangan kerja di tingkat bawah,” ungkap Gobel dalam keterangannya, Minggu (26/10/2025).
Impor pakaian bekas marak dalam 10 tahun terakhir ini. Hal ini telah membuat kolaps industri konveksi rumahan di tingkat bawah dan di desa-desa. Hal itu juga membuat hilangnya lapangan kerja di tingkat bawah. Oleh karena itu, Gobel sangat mendukung langkah Menteri Keuangan yang sedang memerangi impor pakaian bekas.
“Namun kewenangan dan regulasi impor pakaian bekas bukan hanya ada di Kemenkeu yang membawahi Ditjen Bea Cukai, tapi juga ada di bawah Kemendag yang mengatur tentang perdagangan,” tukas Gobel.
Lebih lanjut legislator NasDem dari Dapil Gorontalo itu mengingatkan tentang keberadaan Asta Cita yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Dari delapan cita-cita, setidaknya ada tiga cita yang terkait dengan impor pakaian bekas ini. Pertama, pada cita kedua tertulis, “Memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru”.
Di sini ada aspek ekonomi kreatif dan ekonomi hijau. “Impor pakaian bekas itu sistemnya bal-balan. Hanya ditimbang saja. Jadi tak semuanya layak pakai. Jadi sebagian akan menjadi sampah. Hal ini jelas tak sesuai konsep ekonomi hijau. Indonesia menjadi negara buangan sampah. Selain itu juga ada aspek ekonomi kreatif, impor pakaian bekas membunuh kreativitas masyarakat dalam industri pakaian jadi untuk masyarakat bawah,” katanya.
Kedua, dalam cita ketiga, tertulis, “Meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kerwirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur”.
“Impor pakaian bekas jelas-jelas membunuh semua tujuan cita ketiga ini,” tegas Gobel.
Ketiga, pada cita keenam, tertulis, “Membangun dari desa dan dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan”.
“Impor pakaian bekas jelas-jelas membuat mati industri konveksi di desa-desa dan di bawah karena segmen pasarnya sama. Dengan demikian impor pakaian bekas telah menciptakan kemiskinan di tingkat bawah,” katanya.
Biasanya, kata Gobel, pelaku impor pakaian bekas selalu berdalih bahwa impor pakaian bekas telah menciptakan lapangan kerja.
“Padahal yang akan dihitung adalah pedagangnya. Ya, industri konveksi di tingkat bawah juga akan melibatkan para pedagang juga. Jadi ini dalih yang absurd,” katanya.
Jika diperhatikan secara cermat, kata Gobel, impor pakaian bekas juga bertentangan dengan asta keempat, yang berbunyi, “Meningkatkan pembangunan sumberdaya manusia, sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas”.
Pada cita ini ada banyak aspek yang terkait dengan impor pakaian bekas, yaitu, sumberdaya manusia, peran perempuan, dan kesehatan. Industri konveksi, katanya, membutuhkan manusia-manusia berkualitas seperti kemandirian, kreativitas, dan jiwa juang. Sedangkan bisnis impor sampah pakaian hanya memerlukan power and money untuk memengaruhi kebijakan tapi hasilnya merusak bangsa.
“Industri konveksi rumahan juga biasanya dikelola dan melibatkan kaum Perempuan. Dengan demikian, impor pakaian bekas telah mereduksi peran kaum perempuan dalam kegiatan ekonomi rakyat,” urai Gobel.
Sedangkan aspek kesehatan, tambah Gobel, karena ini barang bekas maka patut diduga mengandung kutu, bakteri, virus, dan jamur yang berasal dari negara asalnya. Padahal tiap kutu, bakteri, virus, dan jamur tersebut, sesuai dengan kondisi dan iklim setempat.
“Nah, tubuh kita akan immune terhadap hal-hal seperti itu yang sudah dikenali, sedangkan untuk yang belum dikenali oleh tubuh akan menimbulkan penyakit, yang bisa saja berbahaya,” katanya.
“Intinya adalah dengan impor pakaian bekas besar-besaran kita akan menjadi bangsa sampah dan dengan mentalitas sampah. Dan dalam pergaulan internasional ini sangat buruk karena pakaian yang dikenakan rakyat kita adalah sampah dari negara-negara tersebut,” tandas Gobel.
Tentu saja, tambahnya, ini tak sesuai dengan jargon kebesaran bangsa ini dan kedaulatan bangsa ini. Impor pakaian bekas sama sekali tak memberikan kontribusi bagi kebesaran bangsa ini kecuali bagi pelakunya yang umumnya adalah dari kelas menengah atas dan backing politik dari kelas atas juga.
“Bisnis pakaian bekas adalah bisnis racun mental yang merusak jiwa bangsa. Padahal jiwa bangsa adalah fokus perhatian dari pemimpin kita Bung Karno,” pungkasnya. (RO/*)
