JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Publik semakin sadar tentang akuntabilitas lembaga penegak hukum, terutama setelah peristiwa akhir Agustus di mana terjadi demonstrasi ricuh yang memakan korban jiwa.
Tuntutan publik terhadap reformasi Polri menjadi bagian dari gerakan nasional yang menekankan transparansi, empati, dan reformasi kelembagaan sebagai pondasi pemulihan kepercayaan masyarakat.
“Setelah peristiwa ‘Agustus Kelabu’, masyarakat menunjukkan keberanian lebih tinggi dalam menyampaikan kritik dan aspirasi, menandakan meningkatnya kesadaran publik terhadap akuntabilitas lembaga penegak hukum,” kata Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo membuka Seminar Internasional bertema Optimalisasi Peran Polisi dan Masyarakat dalam Pencegahan Kejahatan Guna Terciptanya Keamanan Lingkungan dan Peningkatan Produktivitas Masyarakat Menuju Ketahanan Pangan Nasional di Aula Pusdik Binmas Lemdiklat Polri, Semarang, Rabu (22/10/2025).
Mantan Kapolda Kalimantan Tengah itu menuturkan aksi massa lainnya di awal September semakin memperlihatkan krisis legitimasi Polri, sehingga muncul desakan reformasi. Krisis legitimasi terjadi karena sejumlah faktor.
Menurutnya, deretan peristiwa unjuk rasa besar di berbagai wilayah pada Agustus-September memperlihatkan puncak krisis legitimasi Polri yang menegaskan kebutuhan mendesak akan reformasi struktural dan kultural.
”Permasalahan internal yang diidentifikasi meliputi lemahnya pengawasan, rendahnya akuntabilitas penegakan hukum, maraknya penyalahgunaan wewenang, serta budaya impunitas yang menggerus kepercayaan publik,” jelasnya.
Dia menuturkan Polri telah mengundang diskusi para tokoh perwakilan masyarakat sipil dan pakar. Kajian dari koalisi masyarakat sipil menemukan 130 persoalan yang terhimpun dalam 12 isu utama, mulai dari pengawasan hukum, tata kelola SDM, hingga orientasi pelayanan publik yang masih bersifat administratif.
Menghadapi realitas itu, Dedi menekankan kebutuhan Polri saat ini adalah perbaikan profesionalisme dan akuntabilitas. Juga penguatan pengawasan eksternal serta menekan perilaku represif.
Evaluasi nasional menempatkan Polri di posisi yang membutuhkan perbaikan signifikan dalam hal profesionalisme dan akuntabilitas.
Rekomendasi utama memperkuat pengawasan eksternal dan menurunkan pendekatan represif. ”Pembelajaran dari praktik kepolisian global menunjukkan pentingnya pemanfaatan teknologi seperti body-worn camera, CCTV, dan integrasi sistem digital untuk memastikan transparansi serta perlindungan terhadap hak asasi manusia,” ungkap mantan Kadiv Humas Polri itu.
Sebagai penutup, Wakapolri mengutip ucapan tokoh kepolisian Inggris, Sir Robert Peel. “The police are the public, and the public are the police, efektivitas kepolisian ditentukan oleh sedikitnya kejahatan dan besarnya kepercayaan rakyat,” tuturnya.
Kalemdiklat Polri Komjen Chryshnanda Dwilaksana menegaskan pentingnya peran polisi dan masyarakat dalam mencegah tindak kejahatan serta menciptakan lingkungan yang aman dan produktif.
“Lingkungan yang aman tidak hanya menekan angka kriminalitas, tetapi juga membangun kepercayaan dan semangat warga untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi dan sosial,” katanya.
Ia menambahkan, konsep community policing atau pemolisian berbasis masyarakat menjadi strategi utama dalam mewujudkan keamanan yang berkelanjutan.
Kolaborasi antara polisi dan masyarakat, katanya, bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga bagian dari upaya memperkuat ketahanan pangan nasional dan produktivitas masyarakat.(rah)
