JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Dirtindak Kortas Tipidkor Polri Brigjen Totok Suharyanto membeberkan keterlibatan adik mantan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, Halim Kalla alias HK dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat (Kalbar) tahun 2008-2018.
“Mensrea yang dibangun adalah pelaksanaan lelang tersebut didapat fakta tersangka FM (Fahmi Mochtar) selaku dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK (Hakim Kalla) dan tersangka RR selaku pihak PT BRN dengan tujuan untuk memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat,” ujar Totok Suharyanto kepada wartawan, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, proses penyelidikan kasus itu dilakukan sejak 13 November 2024, yang mana ada 65 saksi dan 5 ahli diperiksa polisi untuk membuat kasusnya terang benderang. Polisi juga menerima laporan hasil pemeriksaan investigatif perhitungan keurigaan negara dari BPK, yang mana kerugian negara berupa total loss senilai USD62,410,523.20 dan Rp323.199.898.518.
Dia menerangkan, dari hasil penyelidikan, ditemukan fakta berupa tahun 2008 PT PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap PLTU 1 Kalimantan Barat dengan kapasitas output sebesar 2×50 MW yang direncanakan akan dibangun di kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat.
Pelaksanaan lelang tersebut didapat fakta tersangka FM selaku Dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan RR selaku pihak PT BRN dengan tujuan memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat.
“Selanjutnya, dalam pelaksanaan lelang diketahui Panitia Pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN, tersangka FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN – Alton – OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi. Selain itu, diduga kuat perusahaan Alton – OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN,” tuturnya.
Dia menjabarkan, tahun 2009 sebelum dilaksanakan pandatangan kontrak, KSO BRN telah mengalihkan seluruh pekerjaan ke PT Praba Indopersada dengan Dirutnya tersangka HYL dengan kesepakatan pemberian imbalan fee ke PT BRN. Selanjutnya, HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN.
“Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat. Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan pandatangan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak USD80.848.341 dan 507.424.168.000 sekian atau total kurs saat itu Rp1,254 triliun,” paparnya.
Dia menjabarkan, tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012.
Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan, lalu telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018.
“Akan tetapi, fakta sebenarnya pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta USD. Itulah yang terjadi dengan total lost kerugian yang tadi telah disampaikan,” katanya.(rah)