Oleh : Dina Maharani P.*
SIANG ITU, awan hitam menggantung di atas langit Margonda kota Depok-Jawa Barat, yang gelap ber-arak disertai rintik-rintik hujan.
Rombongan kami, Pengurus Gerakan Rakyat Nusantara (GRN) menuju ke kompleks perumaham Pesona Khayangan.
Tak jauh dari gerbang utama, mobil pun ber-belok ke arah kiri, berhenti di depan sebuah rumah.
Bagian depannya ber-karpot ukuran dua mobil. Terdapat teras kecil, bersisian dengan halaman, ditumbuhi rerumputan hijau dan tanaman bunga nan- elok dipandang.
“Silahkan masuk Pak Neo” kata Mba Ayu sang penghuni rumah dengan penuh ramah menyambut kami.
Sepertinya Pak Ketum kami (R.Yuniono Soeprapto) sudah sangat familiar dengan penghuni rumah tersebut.
Kami-pun melewati ruang tamu, terlihat kursi-kursi kayu dan perabot yang tertata rapi. Di ruang keluarga terlihat sosok seorang perempuan berambut putih-perak berbaring dengan kepala yang agak tegak, melemparkan senyum pada kami.
Setelah menyelami dan mencium tanganya. Pak Ketum (Neo Soeprapto) membuka pembicaraan, menanyakan keadaan wanita sepuh tersebut.
Sementara kami masih takjub dengan ruangan keluarga yang unik dan ‘homy’.
Di dinding tangga naik, tedapat deretan foto para tokoh. Ada Megawati, Puan Maharani, Ganjar Pranowo, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Najwa Shihab dan tokoh lainnya.
Dinding sebelah kiri ada lukisan dan foto-foto artistik. Di dinding belakang bergantung foto seorang lelaki berseragam polisi dan sosok perempuan berkostum Bhayangkari.
Di atas nakas kayu panjang terdapat deretan pigura berukuran kecil, foto-foto keluarga besar, anak serta cucu yang bersisian dengan kamar mandi yang disekat dengan tirai kayu.
Ruangan keluarga ini memiliki jendela-jendela kayu yang terbuka.Saya merasakan desiran angin yang lembut menyelinap masuk. Di luar jendela terlihat taman yang dipenuhi bunga-bunga hingga ke halaman belakang.
Sesekali terdengar suara kicauan burung dari arah belakang rumah. Menambah suasana rumah nan-alami dan membuat betah berlama-lama di ruangan ini.
Saya pun kembali mengalihkan pandangan pada sosok perempuan di hadapan saya. Ia adalah Meriyati Roeslani Hoegeng, sering disapa “Mery atau Eyang Mery”. Ia lahir pada 23 Juni 1925 di Yogyakarta.
Juni kemarin, usianya genap 100 tahun. Sebuah capaian usia yang terbilang panjang untuk ukuran usia harapan hidup orang Indonesia.
Eyang Mery terbaring di atas tempat tidur. Meski demikian, Ia masih tampil ceria dan segar. Dengan ingatan yang masih sangat tajam.
Siang itu ia berkebaya warna orange, dengan diselimuti kain batik bermotif bunga-bunga dengan rambut putih pendek yang dibiarkan terurai.
Di usianya yang hampir satu abad itu. Eyang Mery masih tampil begitu cantik .
**
Eyang Mery adalah istri dari Jenderal Polisi Hoegang Imam Santoso, mantan kapolri legendaris di era 1968-1971 yang dikenal memiliki integritas dan kejujuran selama menjabat.
Mery Hoegeng memiliki darah campuran Indonesia-Belanda. Ia adalah putri dokter Soekmano dan Jeanne Reyneke Van Stuwe, keturunan Belanda.
Eyang Mery disebut ‘Ummul Mukminin’ bagi kalangan ibu-ibu bayangkari. Kisah dan keteladanan Merry Hoegeng sering dijadikan inspirasi bagi istri-istri pejabat lainnya.
Sebagai istri pejabat tinggi, Mery Hoegeng terbiasa hidup sederhana, jauh dari kemewahan. Ia bahkan pernah tinggal di garasi mobil kerabat saat baru pindah ke Jakarta.
Untuk membantu perekonomian keluarga, Mery pernah berjualan sate dan membuka toko bunga di garasi rumah dinasnya. Toko bunga ini cukup laris, namun diminta ditutup oleh Jenderal Hoegeng saat menjabat Kepala Jawatan Imigrasi untuk menghindari konflik kepentingan.
Eyang Mery juga menunjukkan ketegasannya dalam menjaga integritas keluarga. Ia dengan tegas melaporkan dan mengembalikan semua hadiah barang-barang mewah, termasuk cincin berlian, yang merupakan upaya suap dari pihak yang ingin berurusan dengan suaminya.
“yang tidak mudah bagi saya adalah menjelaskan pada anak-anak tentang kesederhanaan dan kekurangan hidup yang kami jalani” kenangnya.
Anak-anaknya sering membanding-bandingkan dengan gaya hidup anak pejabat lain yang berkecukupan dan mewah. Dan Eyang Mery tak henti-hentinya menjelaskan dengan penuh kesabaran. “syukurlah anak-anak akhirnya mengerti” ujarnya.
*
Dalam silaturahmi dengan Eyang Mery Hoegeng. “ Saya merasakan mendapat pesan yang luar biasa, mendalam dan bermakna,” kata Hana Ayu Wijaya, sang Bendahara GRN.
“Keteguhan hati Ibu Meriyati untuk tetap hidup bersahaja di tengah kekuasaan adalah sesuatu yang patut dicontoh,” Ucap Sang Ketum.
Ini adalah nilai-nilai hidup akan terus relevan hingga generasi saat ini.
Dukungan Ibu Mery kepada Pak Hoegeng menjadi polisi yang profesional dan tidak kompromi terhadap suap dan korupsi adalah pelajaran besar bagi generasi sekarang. Kita butuh lebih banyak figur seperti beliau,” tambah Pak Dedy Prasetiyo.
Ia juga dikenal karena nasionalismenya yang tinggi. Ia pernah begabung menjadi “Relawan Palang Merah”. Mery merupakan saksi hidup pertempuran di Pekalongan pada 3 Oktober 1945. Saat itu, ia bersama adik-adik dan teman-temannya menjadi relawan untuk menolong para pejuang yang menjadi korban pertempuran melawan tentara Jepang.
Sebagai sosok perempuan inspiratif, dihormati, dan banyak dikunjungi oleh para tokoh nasional. Sosoknya dinilai bersahaja dan jujur seperti suaminya.
Pada peringatan ulang tahunnya yang ke-100, sejumlah tokoh, termasuk Megawati Soekarnoputri, hadir untuk memberikan penghormatan.
Juni kemarin, apresiasi dan penghargaan yang ia dapatkan melalui Peluncuran buku. Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-100. Merry meluncurkan buku “Biografi berjudul Meriyati Hoegeng-100 Tahun Langkah Setia Pengabdian” yang disusun oleh cucunya, Krisnadi Ramajaya Hoegeng.
Di momen pertambahan usianya, Mery senantiasa mendapat banyak doa dari orang-orang yang mencintainya.
Tak sedikit di antaranya yang berharap agar istri jenderal teladan itu mendapat banyak kemuliaan dan kebaikan.
**
Memasuki masa pensiun Jenderal Hoegeng, Merry bersama suaminya dikenal sebagai pengisi acara “The Hawaiian Seniors” di TVRI, menyanyikan lagu-lagu bernuansa Hawaii.
Mereka juga sempat membuka usaha melukis untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Sebelum berpisah dengan Eyang Mery, saya diminta berdoa. Untuk keberkahan usianya dan juga keberkahan bagi kami dan semoga Allah selalu melndungi bangsa Indonesia dari perpecahan.
Dari Eyang Mery kita belajar tentang ketulusan, kesabaran, kesederhanaan, konsistensi dan diatas segalanya adalah kepasrahan akan hidup kepada yang Maha Kuasa.
Dari Ibu Mery jugalah memperkuat ungkapan yang menyebutkan “ Dibalik dari kesuksesan seorang lelaki, terdapat sosok seorang wanita tangguh”.
Jadi jika Jendral Hoegeng yang dikenang sebagai sosok pribadi yang memiliki integritas dan teguh memegang amanah terhadap jabatannya. Maka, itu tak lepas dari kontribusi Ibu Merry.
Ibu Mery Hoegeng Ibunya para polisi Indonesia. “Sehat selalu Eyang.. Selamat Ulang Tahun yang ke-100 Eyang Mery”
Allah melindungi dan menyayangi-mu selalu.. Eyang. Amiin.(*)
*Dina Maharani P. adalah Sekjen Gerakan Rakyat Nusantara