Didik Suryantoro
Kastanews.com: Hari masih pagi. Udara dingin menusuk tubuhku sampai ke tulang. Meski sudah kulapis jaket dan selimut tebal, rasa dingin ini tak mau pergi juga. Kuintip dari kaca jendela kamar, Kaldera Tengger yang luas itu masih disaput kabut tipis. Hari ini tampak mendung, matahari enggan menampakkan sinarnya.
Kupaksakan kaki ini untuk beranjak dari ranjang. Sekedar membunuh gamang yang tiba tiba menyergap. Entah kenapa. Sejak kemarin jiwaku seperti ada yang mengganggu. Bahkan jauh waktu sebelumnya, aku tidak pernah merasa aneh seperti ini.
Kususuri lorong hotel yang sepi sampai ke lobynya. Petugas hotel yang kutemui menyapa ramah. Sapaan itu hanya kubalas dengan senyum. Aku terus berjalan ke taman hotel, hingga terhenti pada dua buah pohon cemara, yang diantaranya dijajarkan empat bilah bambu untuk duduk. Kusapu embun pagi yang masih menempel di sana dengan telapak tanganku. Dinginnya menyergap, seperti ribuan jarum yang menusuki telapak tangan.
Dengan perasaan tak karuan, kuletakkan juga pantatku pada bambu itu sambil merapatkan jaket yang membungkus kulit tubuhku. Jauh kulayangkan pandangan ke hamparan pasir Kaldera Tengger pegunungan Semeru. Hingga mataku terhenti pada dua gunung yang anggun berdiri, Gunung Batok dan Gunung Bromo. Di sana kulihat kebesaran Tuhan yang lama tak pernah kunikmati lagi.
Ya, kebesaran Tuhan yang dulu sekali sering kami singgahi. Di tengah letihnya otot otot kaki melangkah, dulu kami sering membincangkan betapa gagahnya puncak Ciremai, indahnya Mandalawangi yang ditebari Edelweis, atau anggunnya Gunung Bromo yang kini ada dihadapanku. Di tengah letihnya tubuh kami memanggul cerier, kami sempat ucapkan rasa syukur yang begitu dalam. Bahkan di waktu waktu tertentu, seiring kisah kasih kami yang terpupuk subur, kami sempat mengucapkan doa doa agar cinta kami bisa langgeng, sekokoh dan seindah gunung gunung yang kami daki. Namun kini, perasaan aneh yang dulu pernah ada itu seperti hadir kembali, meski bukan dengan Wicak yang kini jadi suamiku.
Dalam duduk dan termenung, tiba tiba aku rindu anakku, rindu suamiku. Perasaan yang tak pernah muncul kala aku sedang tugas ke luar kota seperti ini. Aku jadi bingung, kenapa rindu inipun muncul tiba tiba. Rindu untuk bercanda dengan Langgeng yang sedang lucu lucunya. Rindu dengan Wicaksono, suami yang selalu merajuk bila sudah minta ‘jatah’. Tapi tiba tiba saja, bayangan itu perlahan memudar. Berganti sosok laki laki tanpa kumis, berdada bidang, topi lebar yang menutupi rambut gondrong dan separuh mukanya, berdagu keras dan sedang memamerkan senyumnya yang menawan, Yosman. Sutradara film layar lebar yang belakangan ini mengisi hari hari ku.
“Kopi, lumayan buat ngangetin badan,“ sebuah suara membangunkan lamunanku.
Perlahan, kucari asal suara itu. Saat kutoleh, dadakku tiba tiba berdegup kencang. Seperti genderang yang ditabuh kencang kencang. Suara itu datang dari Yos, yang kini mulai rajin mengisi batin dan kepalaku, “Thank’s” ucapku pendek, tanpa berani menatap matanya. Karena aku tahu dari mata itulah kegalauan batinku ini kerap muncul.
Pertemuan dan perkenalanku dengan Yosman sesungguhnya biasa biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Dia seorang sutradara dan aku seorang reporter majalah. Pertemuan wartawan dan nara sumber. Tidak lebih. Namun hanya karena seringnya kami bertemu, lama kelamaan pertemuan itu bukan lagi antara nara sumber dan reporter. Bahkan seiring berjalannya waktu, pertemuan tersebut menjadi semakin sering. Situasi ini seperti menjebaku. Seperti halnya kali ini.
“Syutingnya mulai lagi nanti siang sekitar jam 8, paling tidak kalau sinar matahari sudah mulai terlihat. Dari tadi kabut tebal gak mau pergi pergi juga. Aku butuh sinar matahari untuk menggambarkan harapan yang mulai terbit,” ujar Yos tanpa kutanya.
Aku hanya diam. Tapi aku mendengar apa yang dikatakan Yos.
“Tidak terasa, kita sudah satu minggu di sini,” sambungnya lagi sambil duduk di sebelahku.
Aku tidak pula menjawab, hanya menimpali dengan merengkuh ke dua lututku untuk sekedar menghalau dingin. Atau setidaknya untuk membekap gejolak batinku yang berlompatan.
“Pernah ke situ?” tanya Yos, saat melihatku sedang menatap Gunung Bromo yang bersanding dengan Gunung Batok. Aku diam. Hanya pandangan dan kepalaku yang memberi isyarat kalau aku memang pernah ke sana.
“Sepertinya kamu punya kenangan khusus dengan Bromo?” pancing Yos lagi.
Kembali aku tidak menjawab. Lalu kuhirup kopi yang tadi Yos sodorkan padaku. Aromanya memang memabukkan. Termasuk aroma suasana ini.
“Selama di sini kamu lebih banyak diam, kenapa? Tidak biasanya kamu seperti ini. Terus terang, aku jadi nggak enak kalau kamu terus begitu. Itikad kami padahal sederhana. Kami hanya ingin kamu meliput kerja kami di sini. Karena kami menganggap, film yang ini akan menjadi salah satu film terbaik yang pernah aku buat,” ujar Yos nyerocos.
Aku jadi nggak enak hati mendengar ucapan Yos seperti itu. Sejujurnya semua ini justru datang dari kebaikan Yos yang agak berlebihan. Hingga sampai kusadari kebaikan itu bukan sekedar kebaikan belaka. Ada motif terselubung di belakangnya. Atau jangan jangan.. ah.. aku tidak berani melanjutkannya…
“Kenapa sih, kok cuma satu reporter yang kamu ajak ke sini?” ke luar juga pertanyaan dari mulutku. Sekedar membunuh lamunanku yang mulai berlebihan.
Kulihat Yos tersenyum saat mendengar suaraku.
“Kenapa tersenyum?” sambungku lagi.
“Tadinya kupikir kamu sedang mogok bicara,“ batinku jadi kecut mendengar ucapannya.
“Kenapa Yos, kok cuma mediaku yang kamu undang untuk meliput penggarapan film ini. Bukankah masih banyak media lain yang pantas untuk meliput kegiatan kamu ini?” tanyaku lagi.
“Kenapa… keberatan…?”
“Bukan… padahal banyak media lain yang justru seharusnya lebih tepat. Sebut saja majalah Film, yang jelas jelas fokus pada dunia film, atau majalah Infotainment yang punya banyak rubrik hiburan, tapi kenapa justru majalah perempuan seperti majalahku yang pembacanya kebanyakan ibu ibu…?“ bantahku.
“Banyak alasannya,” ucap Yos pendek, menggantung.
Pikiranku jadi semakin dijejali pertanyaan lain. Tapi belum sempat pertanyaan itu keluar dari mulutku, kulihat Yos menyeruput kopinya, seolah memberi isyarat dia akan segera menjawab pertanyaanku.
“Pertama, dibanding dengan media lain yang kamu sebut tadi, majalahmu memiliki ketajaman dalam meresensi sebuah karya film. Penulisnya, yaitu kamu, sangat cerdas memilah mana alur cerita yang harus disampaikan dan mana urusan tehnis yang menjadi bagian dari alur cerita. Jadi gak tumpang tindih seperti yang dilakukan media lain itu. Kritik ngawur yang sama sekali tidak membangun,” ujar Yos agak emosi.
Kemudian dia menyeruput lagi kopi yang digenggamnya. Aku hanya diam, karena ucapannya itu kuanggap hanya pujian basa basi. Kemudian Yos menyambungnya lagi.
“Ke dua, kami hanya punya budget cukup untuk satu orang reporter. Untuk tinggal di Bromo selama dua minggu, jelas kami butuh dana cukup besar untuk mengcover semua kebutuhan reporter. Ke tiga, aku sangat berharap kamu bisa memberi “nyawa’ pada resensi filmnya jika kamu mengikuti tiap tahapan produksi. Bahkan, saat editing nanti pun, aku berharap kamu bisa mengikutinya. Kamu tahu itu…” papar Yos seperti ingin membela diri dari tulisan tulisanku yang pedas konstruktif. “Tapi sayangnya, sejak beberapa hari ini aku tidak mendengar kritikan kritikan dalam tulisan kamu di saat produksi sedang berlangsung,” aku agak terkejut Yos mengutarakan hal itu.
“Yos…. Aku ke sini untuk meliput kegiatan kamu, behind the scene, bukan menjadi penasehat yang harus mengkritisi di saat pekerjaan belum selesai,” ujarku rada ketus.
“Kencana… aku tahu itu… itulah yang menjadi alasan keempatku. Aku sangat berharap, kedekatan kita tidak lagi menjadikan jarak untuk saling mengkritisi. Karena aku percaya, jika hasil tulisan kamu nanti terbit, media lain pasti akan mengekor…. Makanya aku ingin kamu tahu betul proses produksi yang sedang aku lakukan,” cerocos Yos.
“Rasanya aku tidak terima alasanmu ini… meliput langsung ke lokasi memang jauh lebih baik. Tapi seperti yang kamu katakan, film ini masih ada tahapan lain setelah produksi dilakukan. Soal seperti apa jadinya tulisanku nanti, ya kita lihat saja nanti,“ ujarku semakin sewot.
Senafas dengan itu, aku berdiri hendak meninggalkan tempat itu. Namun tangan kekar Yos tiba tiba saja meraih pergelangan tanganku hingga langkahku terhenti.
“Tunggu Kencana… ada satu hal yang belum kamu tahu dari film ini,” aku berdiri mematung karena genggaman tangan Yos cukup kuat untuk menahanku. Selain aku juga ingin tahu satu hal yang ingin diucapkan Yos.
“Film ini bercerita tentang kamu…” ujar Yos perlahan, namun padat berisi, hingga membuat jantungku berhenti sesaat.
Kucoba untuk membalikkan tubuhku hingga memberanikan diri agar menatap Yos dengan matanya yang tajam menusuk.
“Benar Kencana… film ini untuk kamu…” ujar Yos lagi dengan penuh perasaan.
“Kamu gila???!!! ujarku lirih, namun tak kalah padat dan berisi.
“Mungkin aku memang gila. Asal kamu tahu, aku harus berjuang hampir empat tahun untuk mewujudkan film ini,” ujar Yos sambil melepaskan genggamannya dan kembali duduk di atas bilah bambu yang tetap membisu. Sepoi angin pegunungun Semeru menyapu tubuhku hingga dinginnya menyentuh belulangku.
“Kenapa aku…?” tanyaku pelan penuh emosi.
“Panjang ceritanya, bahkan film ini tidak akan cukup menceritakan siapa kamu yang sesungguhnya,”
“Tahu apa kamu tentang aku? Kita kenal saja baru beberapa bulan. Paling lama satu tahun.”
“Mungkin kamu mengenalku baru beberapa bulan, tapi aku… aku mengenalmu sejak kamu masih di Madiun, bahkan aku lebih mengenal siapa kamu dibandingkan diri kamu sendri.”
Jawaban Yos benar benar menampar batinku. Aku pikir sutradara ini memang sudah gila. Gemerutuk gigiku semakin terasa. Selain oleh dingin, juga oleh amarah yang tiba tiba menyeruak diantara jutaan rasa yang aku rasakan sebelumnya pada Yos.
“Kenapa diam? Apa aku perlu menceritakannya siapa kamu yang sesungguhnya di sini?” tanya Yos yang membuatku bingung seolah tidak percaya dengan apa yang terjadi sekarang ini. Tanpa kuminta, Yospun akhirnya nyerocos sendiri.
“Kamu… Kencana… adalah anak si Mbok bakul pecel di Madiun yang bangkrut karena ditinggal kawin lagi oleh suaminya. Ayahmu adalah seorang juragan pemilik penggilingan beras di desa Sidomulyo. Bisa jadi kamu tidak pernah mengenal siapa ayahmu, karena sejak kamu bisa ikut si mbokmu keliling kampung untuk jualan pecel, ayahmu sudah dinyatakan meninggal oleh si Mbok,” ujar Yos dengan nada yang sangat datar namun mampu menusuki kepala dan otakku.
“Aku gak percaya kamu bisa tahu sedetail itu,” ucapku ragu
“Aku tidak memaksamu untuk percaya, tapi itulah yang aku tahu dan menjadi filmku sekarang ini. Selepas SD, kamu meninggalkan si Mbok yang masih berjualan pecel keliling. Sementara kamu, bertarung di Jakarta di usia yang sangat belia untuk mengejar mimpi mimpimu. Menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta telah kamu jadikan batu loncatan untuk menggapai semua keinginan kamu. Berbagai cobaan dan godaan telah kamu taklukkan hingga kamu menjadi seperti sekarang. Cuma satu yang belum bisa kamu kalahkan…” suara Yos terputus, dia menatapku nanar. “Kamu tidak pernah punya nyali untuk menemui si Mbok…” sambung Yos menggugat kegundahanku.
“Si Mbok…” ucapku lirih… seiring air mata yang membulir dipipiku. Semeru yang anggun terasa tiba tiba saja meledak dan menghancurkan seluruh sendi sendi tubuhku. Badanku yang berselimut tebal mendadak oleng mencari sandaran. Tubuhku berguncang dalam senggukan tangis. Dalam dekapan Yosman yang meletakkan kepalaku di dada bidangnya.
Batinku berteriak. Seolah tidak bisa menerima kenyataan. Aku terlahir dari rahim si Mbok, si penjual pecel. Kemiskinan membuatku berontak. Aku punya mimpi yang tidak mungkin bisa diraih bila terus bersama si Mbok. Aku harus pergi meraih mimpiku. Aku harus meninggalkan si Mbok. Entah apapun resikonya.
“Si Mbok kangen sama kamu…” ucap Yos lagi… Sementara tangisku makin menjadi. Yos berusaha untuk menenangkanku dengan membelai pundakku yang pipih. Sekuat mungkin aku berusaha melawan perasaanku yang awut awutan.
Cukup lama aku dalam dekapan Yos, hingga tangisku benar benar mulai reda dan cukup kuat untuk mengangkat kepala dan tubuhku dari cengkramannya.
“Siapa kamu sebenarnya Yos…” tanyaku penuh harap Yos bisa memberi jawaban.
“Apa itu perlu?”
Aku hanya mampu mengangguk.
“Aku bukan siapa siapa… aku hanya seorang anak kecil yang dulu selalu kamu layani saat minta pisang goreng di saat si Mbok melayani ibuku membeli pecel,” ujar Yos tanpa dosa.
Secepat kilat aku berdiri. Seolah tidak percaya dengan perkataan yang baru saja dilontarkan Yos… Kutatap Yos dalam dalam… kutelanjangi dia dengan mataku. Kusimak baik baik dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Hingga kutemukan segurat luka di pelipisnya yang hampir tertutup rambutnya yang gondrong. Perlahan kuberanikan diri untuk menyibak rambut itu. Kemudian meraba pelipis itu. Dan aku teringat, saat Yos berlari berebut pisang goreng dengan kakaknya, hingga terjatuh dan kepalanya membentur piring pecel ibunya.
“Yosman… Kau kah Yosman Wibowo…” ucapku penuh tanya… Yos hanya tersenyum sambil mengangguk.
Perasaanku melambung makin gak karuan. Antara senang, marah, dan sejuta rasa yang tidak bisa kubayangkan. Aku tidak habis pikir, kenapa Yos baru mau membuka tabir ini di sini, di hadapan Bromo yang tetap anggun.
Seperti sebuah alunan nada yang kadang singgah kadang sirna di ingatan. Kisah Yos benar benar telah meluluhlantakkan perasaanku. Aku jadi ingat Yos kecil yang nggemesin, ingat Bu Heru, ibunya Yos, ingat Firman, kakak Yos yang nakalnya bukan main, dan tentu juga ingat si Mbok yang lama sekali tidak berani untuk kesambangi. Bahkan mengingat si Mbokpun aku takut. Dosaku terlalu besar untuk bertemu perempuan sekuat dia. Aku jadi malu mengingat si Mbok. Rasanya aku tak pantas lahir dari rahim orang seperti dia.
Yos tidak pernah tahu, aku bukan lari ke Jakarta, tapi aku dilarikan oleh kenyataan. Aku dilarikan oleh mimpi mimpi ku untuk meninggalkan semua kemiskinan. Semua kesusahan. Semua penderitaan yang menyelimuti hari hariku. Hingga akhirnya aku tega pergi begitu saja meninggalkan si Mbok yang hidup sebatang kara. Berjuang untuk hidup, menggapai secuil rejeki dari gang ke gang, dari kampung ke kampung dengan berjualan pecel dan gorengan.
Demi mengingat si Mbok, tubuhku yang kuat mendaki gunung gunung tinggi menjulang, mendadak luruh bak benang basah. Aku tak berdaya. Aku merasa sia sia menjadi wartawan terbaik dengan segudang penghargaan, jika untuk menemui si Mbok saja aku tak pernah punya nyali.
“Si Mbok kini sudah semakin tua. Tapi semangatnya untuk hidup begitu tinggi, setinggi keinginannya bertemu anaknya yang lama menghilang. Kencana namanya,” ujar Yos tiba tiba. Menyeruak di antara lamunanku.
“Di mana si Mbok sekarang…?”
“Masih jualan pecel. Tapi kini dia tidak lagi keliling kampung, karena ibuku memberinya tempat mangkal. Sekarang para pelanggan yang menghampiri pecel si Mbok,” jelas Yos tanpa ragu sedikitpun.
“Mbok…maafin aku mbok…” ujarku lirih. “Yos, aku kangen si Mbok,” tambahku.
“Sapalah si Mbok dengan doa doamu, karena di tiap tarikan nafasnya, namamu selalu disebutnya,” ujar Yos yang membuat perasaan bersalahku semakin besar.
Angin kencang menampar wajahku. Membangunkanku dari lelah yang menyiksaku selama hampir sepuluh hari mengikuti penggarapan film Yosman di pegunungan Tengger. Pluit kereta meraung raung, memberi tanda jika stasiun berikutnya sudah mulai dekat. Stasiun Madiun. Tempat si Mbok yang setia menunggu kedatangan anaknya yang tidak tahu diri. Kencana namanya. Aku. Hingga si Mbok tak kuat menahan rindu, dan ajal menjemputnya. (*)
Lenteng Agung, Medio 1990-an