Sekjen PDIP Ajukan Uji Materi terkait Pasal 21 UU Tipikor

Sekjen PDIP Ajukan Uji Materi terkait Pasal 21 UU Tipikor

JAKARTA (KASTANEWS.COM)- Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto mengajukan uji materi UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001.

Permohonan uji materi yang dilakukan Hasto ini dibenarkan oleh Kuasa Hukum Hasto, Maqdir Ismail. Maqdir menyampaikan bahwa uji materi itu dimohonkan pada Kamis (24/7) satu hari sebelum putusan perkara kliennya diputus di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapun pasal yang diuji ialah Pasal 21 UU Tipikor, pasal yang mengatur tentang perintangan penyidikan alias obstruction of justice. Maqdir menyampaikan salah satu latar belakang diajukannya uji materi ini lantaran Hasto dinilai dikriminalisasi.

“Ya itulah salah satu argumen yang kita sampaikan bahwa penetapan pak Hasto sebagai tersangka melanggar Pasal 21 itu tidak tepat, karena gak ada bukti,” kata Maqdir saat dihubungi, Senin (28/7/2025).

Maqdir menjelaskan redaksional Pasal 21 mengatur secara tegas bahwa obstruction of justice hanya ada dalam tahap penyidikan.

Dengan demikian, tidak ada orang yang bisa dihukum melanggar pasal ini jika tahapan perkara masih berstatus penyelidikan.

“Kami berpendapat pada proses penyelidikan itu enggak bisa orang melakukan pelanggaran terhadap pasal 21, karena pasal itu tegas betul pada proses penyidikan dan seterusnya,” jelas Maqdir.

Selain itu, Maqdir juga menilai pasal itu harus dimaknai secara kumulatif. Artinya, seseorang yang dijerat pasal ini harus terbukti menghalangi proses persidangan.

“Enggak bisa hanya sampai penyidikan atau Penuntutan. Jadi kalau memang tidak bisa disidangkan baru bisa kena,” tutur dia.

Maqdir juga menilai ancaman hukuman perintangan penyidikan dalam UU Tipikor tidak proporsional. Dalam UU Tipikor, ancaman hukuman perintangan penyidikan justru lebih tinggi daripada ancaman hukuman pokok perkaranya (korupsi).

Maqdir menyinggung Pasal 5, 11 dan 13 pada UU Tipikor yang ancaman hukumannya maksimal lima tahun penjara. Sebaliknya, perintangan penyidikan justru berpotensi menghukum orang hingga 12 tahun. “Bagaimana mungkin itu bisa terjadi bahwa pasal 21 ini lebih tinggi daripada ancaman daripada perbuatan pokok. Jadi itu yang kami katakan ini seharusnya proporsional,” ungkap dia.

Adapun Dalam petitumnya, Hasto dan kuasa hukum meminta Pasal 21 UU Tipikor dimaknai menjadi: Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun maupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas dipidana dengan pidana penjara lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah) Dan Menyatakan frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan” dalam Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Nomor 140 Tahun 1999 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa frasa tersebut memiliki arti kumulatif, dalam arti tindakan mencegah, merintangi atau menggagalkan harus dilakukan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.(rah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *