Film Dokumenter “Masih Ada Asa” Mengungkap Realitas Pahit Kekerasan Seksual

Film Dokumenter “Masih Ada Asa” Mengungkap Realitas Pahit Kekerasan Seksual

JAKARTA (Kastanews.com): Realitas pahit kekerasan seksual terhadap Ati dan Ros, dua perempuan penyintas kekerasan seksual dari Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), selama ini tertutup dari sorotan publik. Hingga film dokumenter “Masih Ada Asa” mengangkatnya ke permukaan.

Diskusi film dokumenter “Masih Ada Asa” berlangsung di Auditorium Perpustakaan Panglima Itam, NasDem Tower, Kamis (26/6/2025) dengan menghadirkan pembicara dari berbagai latar belakang yang memiliki kepedulian terhadap isu kekerasan seksual dan perlindungan perempuan di Indonesia.

Ketua Bidang Hubungan Legislatif DPP NasDem, Taufik Basari, mengungkapkan bahwa film ini menjadi momentum refleksi terhadap pelaksanaan UU TPKS.

“Meskipun undang-undangnya sudah ada, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Kita butuh kerja bersama dengan aparat penegak hukum untuk benar-benar memanfaatkan UU TPKS ini sebagai alat melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual,” jelas Taufik.

Diskusi ini lanjut dia menjadi ruang penting untuk mengevaluasi implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang telah disahkan, namun belum sepenuhnya dijalankan secara efektif.

Selain itu, lanjut dia, acara ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan kekerasan seksual belum selesai. Dokumenter “Masih Ada Asa” bukan hanya karya seni, tetapi juga instrumen advokasi yang menggugah empati dan mendesak aksi nyata.

“Kita berharap sosialisasi terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini dijalankan secara masif diikuti pula dengan pelatihan kepada aparat penegak hukum bagaimana menggunakan UU ini, termasuk juga bagaimana kita membangun dan mengubah perspektif selama ini, terutama perspektif patriarki yang menjadi penghalang terhadap penegakan hukum terkait dengan tindak pidana kekerasan seksual,” tegasnya.

Sementara itu, aktivis dan produser seni budaya, Olin Monteiro, menyampaikan bahwa pembuatan film ini berawal dari kegelisahan para aktivis di Maumere, yang banyak menerima laporan kekerasan seksual, namun kesulitan menjangkau perhatian publik dan mendapatkan dukungan dana.

“Awalnya saya dikontak oleh teman-teman aktivis di Maumere. Mereka bilang, ‘kayaknya bagus juga kalau dibuatkan filmnya’ karena banyak orang belum tahu ada kasus seperti ini di NTT. Mereka juga punya shelter, tapi susah sekali cari dana. Mereka berharap lewat film ini orang bisa tahu dan bisa bantu fundraising untuk pendampingan,” ujar Olin.

Ia juga menyoroti tingginya angka kekerasan seksual yang tidak tercatat karena korban memilih diam.

“Waktu kami riset ke daerah, kami bertemu banyak korban yang tidak melapor. Bagi mereka itu aib. Bahkan keluarga kadang tidak mendukung. Kami temukan sembilan anak perempuan korban kekerasan seksual, umurnya 8–15 tahun. Ini alarm serius,” tambahnya.

Turut hadir dalam diskusi, Aprillia Lisa Tengker, Koordinator Divisi General Support System YLBH APIK Jakarta, serta anggota DPR RI Fraksi NasDem, Julie Sutrisno Laiskodat, yang selama ini aktif dalam isu perlindungan perempuan dan anak.(wayram/*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *