TENGAH KOTA (Kastanews.com): Air mata itupun luruh. Tangisnya pecah. Pundaknya berguncang menahan tangis. Ada perasaan yang tidak bisa dia tahan. Haru, sedih, gembira, gamang, kacau, dan sejuta rasa yang sulit diungkapkan. Semua berbaur menjadi satu tak karuan.
Dia adalah Ismail Sidik Sahib. Karibku. Orang banyak memanggilnya Inong. Julukan Uka-uka justru setelah kami sama-sama tidak lagi di Kampus Tercinta.
Perasaan yang mengharu biru itu saat Inong menyambut karibnya dari Kampus Tercinta angkatan 1987. Apek (Veyda), Shanti dan Poppy menemuinya untuk menyampaikan amanah dari hasil urunan teman-temannya.
Inong seperti harus menghadapi situasi yang paradok. Satu sisi istri tercinta tengah terbaring lunglai menahan sakit, sisi yang lain, dukungan material, moril dan ribuan doa untuk kesembuhan sang istri dari teman-teman kuliahnya tengah di depan matanya.
Masih berlintasan di kepala, bagaimana seorang Inong, dengan jaket jeans nya, tertidur di tempat duduk dari semen di depan BAAK kala itu. Gayanya memang sudah nyeniman. Maklum, saat itu dia sudah tergabung di Theater Mandiri milih Putu Wijaya.
Satu hal yang masih aku ingat, Inong yang membakar para demonstran di lapangan basket dengan lagi Iwan Fals, Bongkar.
Bukan hanya gayanya, seorang Inong agaknya memang sangat dekat dengan urusan pemberontakan. Satu waktu dia berkisah bagaimana dia harus meloloskan diri dari kepungan kala tentara mengepung Kantor DPP PDI di Jalan Imam Bonjol. Dia harus masuk sungai kecil dan bau di sekitar situ untuk meloloskan diri. Karena sungai kecil di depan bioskop Megaria itu yang menghubungkan ke wilayah lain.
Di Waktu yang lain, Inong juga berkisah tentang bagaimana seorang Pangkopkamtib Sudomo kala itu, mau makan nasi bungkus di TIM sambil lesehan dengan WS Rendra dan seniman teater lainnya untuk membincangkan satu hal yang mengancam dunia teater.
Aku bukan teman yang satu kelompok dengan Inong. Gayanya yang lumer mudah dikenali dan mudah bergaul dengan siapa saja. Bahkan saat Inong terjun sebagai reporter. Rubrik hiburan dan budaya menjadi santapannya. Beberapa kali liputan bareng. Tapi gayanya yang ceplas ceplos membuatnya mudah diterima di mana saja.
Saat bekerja MetroTV, dan diminta mencari penulis naskah, Inong menjadi sasaranku. Konyolnya, aku justru menemukan Inong saat sama sama berkendara motor di jalan Bangka. Setelah tertangkap, bergabunglah dia di Metro Tv sebagai penulis naskah. Salah satu program Ramadan yang dipegangnya adalah bersama Ustadz Abu Sangkan.
Satu kalimat yang tidak pernah aku lupakan dari Inong saat bersama-sama di Metro Tv itu adalah, “Dik, posisi lu udah lumayan, lu udah lama di sini, udah cukup senior, jangan sampai lu keluar gara-gara hal sepele,” ujar Inong.
Maklum, saat itu psikologiku lagi gak enak. Beda prinsip agak tajam sama atasan. Tapi Inong mengingatkan. Dan Alhamdulillah, sejak dia bilang begitu, aku kembali memperbaiki kesalahan yang nyaris bikin blunder.
Sebelum bergabung di Metro Tv, Inong juga adalah seorang penulis skenario. Aku tahu itu, sudah belasan bahkan puluhan judul sinetron sudah dia kerjakan. Maka, tatkala MNC Group ingin membuat devisi fiksi sendiri, Inong tertarik untuk bergabung bersama Didi Ardiansyah. Sayangnya itu tak berlangsung lama.
Kemudian aku mendengar Inong bergabung dengan ustadz Abu Sangkan. Dia mengelola majalah Shalat Khusuk. Tapi itupun tidak berlangsung lama.
Waktu terus berjalan, hingga kabar istrinya masuk rumah sakit menjadi perbincangan.
Inong adalah kawan yang nyaris tidak melupakan shalat lima waktu. Istikomah menjadi pegangannya dalam melakoni hidup. Semoga apa yang tengah dihadapinya saat ini bersama istri tercintanya, mampu dihadapi dengan keluasan hati dan iman.
Bersabar adalah kata yang mudah diucapkan, tapi sulit sekali bagi yang sedang menjalani. Percaya bahwa Gusti Allah telah menuliskan takdirNYA, adalah cara terbaik untuk menghadapi ini semua. Tetap tegar braderku.(*)