JAKARTA (Kastanews.com): Kebijakan-kebijakan yang berkenaan dengan kedaulatan pangan harus bisa memberikan dampak positif dan manfaat bagi para petani.
Demikian disampaikan Anggota Bidang Pertanian, Peternakan, dan Kemandirian Desa DPP Partai NasDem, H. Ayep Zaki dalam FGD Pra-Kongres III Bidang Pangan Bertajuk “Komunitas Berdaya, Pangan Berjaya” yang berlangsung secara daring, Selasa (30/7).
Ayep melihat bahwa meskipun Indonesia merupakan negara agraris terbesar di Asia Tenggara, namun negara ini masih harus mengimpor beras dari Vietnam, Thailand, dan Myanmar, dengan data BPS per Maret 2024 menunjukkan total impor sebesar 505,52 ribu ton.
“Kebijakan impor beras yang terus berjalan hampir setiap tahun membuat kita harus memikirkan kembali konsep atau kebijakan kedaulatan pangan yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga membawa dampak positif bagi para petani, terutama dari sisi kesejahteraan,” kata Ayep.
Melalui FGD kali ini, Ayep berharap adanya pemikiran-pemikiran baru yang nantinya akan didorong dalam bentuk kebijakan pangan yang lebih konkret untuk meningkatkan produktivitas pangan nasional.
FGD kali ini juga menghadirkan sejumlah pembicara lain dari kalangan praktisi dan komunitas pertanian antara lain co-Founder Rumah Mocaf Indonesia, Wakhyu Budi Utami, Co-founder Bale Hidroponik Salatiga, Aditya Yoga Sustika.
Selain itu turut hadir Pimpinan Pesantren Ekologi Ath-Thariq Garut, Nyai Nisya Wargadipura, serta Direktur Eksekutif Sakane Bumi, R.M Budi Muliyawan yang juga representasi dari Kelompok Santri Tani 4.0 Kabupaten Pati, Jawa Tengah dan Direktur Yayasan Agro Sorgum Flores, Maria Loretha.
Hadir pula Ketua Bidang Pertanian dan Kemandirian Desa DPP NasDem yang juga Anggota Fraksi NasDem DPR RI, Dr. (H.C.) Sulaeman L. Hamzah.
Dalam FGD yang dipandu oleh Fasilitator Akademi Bela Negara (ABN) Partai NasDem, Yanny Donna itu COO (Chief Operating Officer) Rumah Mocaf Indonesia, Wakhyu B Utami menyampaikan seluk beluk dan sepak terjang dari Rumah Mocaf Indonesia yang bergerak dalam komoditas pertanian berupa singkong.
Dia mencoba meningkatkan nilai ekonomi singkong, menghidupkan perekonomian pedesaan, mempromosikan komoditas lokal, memberdayakan petani, dan meningkatkan kedaulatan pangan nasional.
Menurut Wakhyu, Indonesia pada saat penjajahan mengalami kelangkaan beras. Kemudian pada saat itu masyarakat menggunakan singkong untuk menjadi makanan pokok. Sedangkan saat ini, singkong dipandang sebelah mata padahal memiliki kandungan yang tidak kalah bagus dengan beras.
Dengan kolaborasi antar sektor, dukungan permodalan untuk petani dan pelaku agribisnis, serta perlindungan pasar untuk komoditas lokal, Wakhyu percaya bahwa petani akan lebih sejahtera dan kedaulatan pangan nasional dapat meningkat, menjadikan Indonesia berpotensi sebagai negara swasembada pangan.
Berikutnya adalah co-founder Bale Hidroponik Salatiga, Aditya Yoga Sustika, yang berangkat dari keterbatasan lahan dan pengetahuan terkait pertanian, hidroponik di tangan dia bisa menjadi solusi inovatif untuk masalah pertanian karena dapat dilakukan di lahan sempit, perawatannya mudah, dan bersih, sehingga mengubah pandangan anak muda bahwa pertanian itu ribet dan kotor.
Aditya menggarisbawahi bahwa Bale Hidroponik Salatiga merupakan satu medium yang bertujuan meningkatkan kesadaran anak muda untuk berkarir di sektor pertanian dengan pendekatan yang menyenangkan, serta berkolaborasi dengan mahasiswa untuk meningkatkan potensi pasca panen melalui strategi pemasaran yang modern.
Kemudian, Nyai Nisya Saadah, Pimpinan Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut, mengisi pemaparan substansi yang ketiga dengan menggarisbawahi bahwa kebijakan pemerintah seringkali pro industri namun jarang memihak petani keluarga, sehingga mereka memilih mempertahankan kearifan lokal dan sistem pertanian yang berkelanjutan.
Jajaran Pondok Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut lanjut dia berharap ke depannya pemerintah dapat memberikan perlindungan lebih kepada petani keluarga.
Sementara itu Maria Loretha sebagai pembicara selanjutnya juga menyampaikan bahwa petani sorgum saat ini mencoba bertahan di tengah kebijakan beras dari pemerintah, meskipun sorgum adalah komoditas lokal yang lebih tahan dan adaptif.
Namun kata dia terdapat kebijakan yang tumpang tindih serta kurangnya dukungan dan fasilitas dari pemerintah, sehingga perlu perbaikan infrastruktur untuk mendukung pertanian sorgum.
Terakhir, untuk melengkapi perspektif komunitas dalam konstelasi pangan di Indonesia, Direktur Eksekutif Sakane Bumi, Direktur Eksekutif Sakane Bumi, R.M. Budi Muliyawan menekankan pentingnya membangun kesejahteraan dan kedaulatan pangan Indonesia dengan mengutamakan nilai-nilai ekonomi, ekologis, dan spiritual.
Menurutnya, solidaritas sosial adalah kunci untuk menciptakan sumber kekuatan pangan yang bermanfaat bagi alam dan martabat manusia.
Sebagai penutup acara, Dr. (H.C.) Sulaeman L. Hamzah menyampaikan closing remarks FGD 2 dengan mengapresiasi para narasumber yang telah berbagi ilmu dan pengalaman untuk merumuskan rekomendasi kebijakan ke depan, serta menyampaikan harapannya akan adanya kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan akademisi untuk inovasi kedaulatan pangan Indonesia.
Sulaeman juga menekankan pentingnya hasil diskusi yang komunikatif antara narasumber dan peserta FGD sebagai catatan penting yang akan disampaikan di level legislatif, dan menutup dengan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat. (RO)