JAKARTA (Kastanews.com): John F Kennedy Presiden Amerika Serikat, pernah berkata, “jika politik itu kotor, maka puisilah yang membenahinya!” Bung Frans dalam karya-karyanya menghadirkan semangat perlawanan terhadap relasi kepublikan kota yang sudah tidak manusiawi, serta menghadirkan puisi dengan pendekatan sosiohistoris tentang Jakarta.
Hal demikian disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya di peluncuran buku puisi “Monolog Hujan” karya Frans Ekodhanto Purba di Aula HB Jassin, Lt. 4, Gedung Ali Sadikin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (13/7).
Anggota Komisi XI DPR RI itu juga mengungkapkan, menulis dan membaca puisi itu penting. Sangat penting. Karena puisi merupakan salah satu “alat” untuk menyuling emosi atau rasa, amarah, kritik, benci, cinta yang hendak meledak. Dengan kata lain, puisi bisa menyuling emosi.
“Ketika emosi bisa disuling, maka akan mengalir dengan diksi-diksi yang terkendali bahkan diksi yang membakar semangat berjuang, perlawanan yang lebih membangun. Hal ini juga tercermin dalam buku Monolog Hujan karya Frans Ekodhanto. Menggalakkan hari membaca itu penting, tapi tidak hanya dengan membuat aturan dan peraturan perundang-undangan atau kebijakan semata,” terang Willy.
Willy juga mengungkapkan, sastra dapat menjadi ruang untuk tetap merawat akal sehat dan kewarasan masyarakat di tengah demokrasi di Indonesia yang menuntut keberpihakan.
Selain Willy Aditya, perayaan buku puisi Monolog Hujan menghadirkan keynote speaker, Diaz Hendropriyono (penikmat puisi – staf khusus presiden) dan Vukar Lodak (seniman dan perhati budaya) serta diskusi dipandu sastrawan Fanny J. Poyk.
Dalam kesempatan tersebut juga ditampilkan pembacaan puisi dari M. Chozin Amirullah (pemerhati seni budaya – aktivis dan pembina Gerakan TurunTangan), Syahnagra Ismaill (perupa), Ical Vrigar (teatrawan). Selain itu, perayaan buku puisi Monolog Hujan ini juga menampilkan pertunjukan dari Teater Moksa, Dara Wita Anastasia dan pertunjukan dari Komunitas Sastra Jakarta Timur.
“Puisi-puisi yang termaktub dalam buku Monolog Hujan mengajukan tiga (3) tajuk. Pertama, sejarah. Kedua, mitologi dan perjuangan. Ketiga, pulang,” ujar Frans Ekodhanto Purba.
Frans menjelaskan, judul puisi yang selanjutnya dijadikan judul buku, “Monolog Hujan” ini secara intrinsik dan ekstrinsik berkisah tentang kecemasan pada ‘tali kebudayaan, tali kebijaksanaan, tali..’ yang mengikat diri setiap pribadi yang mulai longgar/kendur ikatannya, bahkan talinya mulai rapuh. Sehingga setiap kita, termasuk masyarakat urban acapkali gagap, gugup bahkan keliru dalam memahami/memaknai serta menyikapi peradaban, perkembangan zaman, bahkan perubahan iklim dan perkembangan teknologi.
“Akhirnya, letupan-letupan kecil dari setiap kecemasan itu tidak tumbuh menjadi kebijaksanaan, menjadi daya kreativitas dan energi estetik yang berdampak baik bagi diri sendiri, orang lain/lingkungan sekitar bahkan dalam berbangsa dan bernegara,” jelas Frans.
Frans juga mengaku sebagai orang yang beruntung, karena melalui puisi dirinya bisa berdialog dengan diri sendiri bahkan bercakap-cakap dengan banyak orang.
“Paling tidak bisa menenangkan letupan-letupan emosi menjadi energi baik untuk kewarasan dan kesehatan,” tukasnya.
Dari “Monolog Hujan” ini, Frans berharap, bisa menjadi titik pijak untuk menumbuhkan budaya literasi yang kurun waktu belakangan ini mulai memudar.
“Harapannya, budaya literasi di kota ini, di negeri ini bisa bergeliat kembali. Karena, bagi saya, dengan menggeliatnya budaya literasi, mimpi untuk menjadi bangsa yang maju, Indonesia emas bisa tergapai. Semoga,” tuturnya.
Tidak ketinggalan Rahayu Saraswati D.Djojohadikusumo menyampaikan apresiasi yang sangat tinggi untuk puisi-puisi karya Frans Eko Dhanto yang begitu memikat dan mendalam.
“Karya-karya beliau, seperti “Mencari Si Pitung”, “Kampung Itu Bernama Pancoran”, dan “Murtado Si Macan Kemayoran”, adalah contoh manifestasi dari kejeniusan dan kepekaan sang penyair terhadap sejarah, budaya, dan perjuangan rakyat Betawi,” kutipnya.
Saraswati juga menulis, Frans Eko Dhanto dengan piawai membawa kita menyusuri jejak-jejak legendaris dan mengenang kembali sejarah dengan bahasa yang kuat dan penuh emosi. Setiap bait dalam puisinya menghidupkan kenangan akan keberanian dan perlawanan, menjadikan karya-karya ini sebagai seruan untuk tidak menyerah pada ketidakadilan.
“Dalam karyanya, kawan saya, Mas Frans juga menampilkan ide yang penuh cinta pada warisan budaya dan semangat juang masyarakat. Puisi-puisi ini menggambarkan dengan sangat indah bagaimana tekad dan pengorbanan diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari, mengajarkan kita tentang nilai kesetiaan dan pengorbanan yang abadi,” tandasnya.
Vukar Lodak sendiri mengatakan, Monolog Hujan sepeti menilik intertekstualitas puisi, unsur-unsur interinsik puisi “Monolog Hujan”.
“Budaya membaca dalam masyarakat kita hari ini mengalami masa-masa gelap dalam literasi. Bagaimana karya sastra (puisi Monolog Hujan– Frans Ekodhanto) ini bisa jadi triger untuk masuk dalam dunia membaca,” ungkapnya.
Sedangkan Diaz Hendropriyono mengatakan, sastra (puisi) merupakan bagian dari ketahanan negara, karena sastra “mengikat emosi” seseorang dalam berbangsa dan membangun negara.
“Tali yang dipakai untuk mengikat ini bernama sastra, karena sastra tidak bicara soal kepentingan. Dia tidak punya kepentingan untuk dirinya sendiri,” jelas Diaz.
Diaz pun menegaskan, semua pergerakan dalam revolusi berakhir pada bahasa puitik.
“Misalnya, serang… maju.. lawan.. apa yang bisa kau berikan pada negara, dan seterusnya. Bahasa puitik seperti apa yang bisa menggerakkan kita saaat ini,?” pungkas Diaz.(FJP/*)