JAKARTA (Kastanews.com)- Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Violla Reinanda melihat situasi saat ini tidak bisa lagi mengandalkan etika untuk mengunci perilaku elite maupun pejabat negara agar tidak melakukan penyimpangan. Undang-undang yang ada harus diperkuat sebagai dasar penegakan hukum.
“Kita tidak bisa lagi sekadar mengandalkan etik untuk mengunci perilaku elit politik/pejabat negara, karena terbukti di peristiwa ketatanegaraan akhir-akhir ini, tidak ada sama sekali budaya malu setelah terbukti melanggar etik berat dan hukum di Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Violla kepada wartawan, Jumat (24/11/2023).
Menurutnya, aturan hukum yang ada saat ini harus dimaksimalkan menjadi basis pengawasan dan penegakkan hukum. Misalnya soal-soal pidana pemilu, UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), dan UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) untuk memastikan pemilu berjalan secara fair dan bersih.
Violla menyarankan segera merumuskan Rancangan UU tentang Benturan Kepentingan yang sudah menjadi rekomendasi dari Tim Percepatan Reformasi Hukum Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Rekomendasi ini menjadi amanat untuk pemerintahan berikutnya.
“Pada RUU tersebut, dapat mengatur secara lebih komprehensif tentang definisi conflict of interest dalam kandidasi pemilu, apa itu politik dinasti, serta bagaimana membatasinya, apa sanksinya, dan lembaga mana yang berwenang dalam penegakkan hukum,” katanya.
Benturan kepentingan dalam pemerintahan merupakan ancaman serius terhadap integritas, transparansi, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintahan. Bahaya utama dari fenomena ini dapat merusak prinsip-prinsip dasar demokrasi. UU tentang Benturan Kepentingan akan menjadi alat penting dalam mencegah praktik-praktik yang tidak etis dan memastikan bahwa pejabat negara bertindak dalam kepentingan terbaik masyarakat dan negara, bukan dalam kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu.
Sementara itu, Peneliti Perludem Kahfi Adlan Hafiz menilai adanya hambatan untuk membendung politik dinasti melalui jalur hukum semata. Karena itu, menumbuhkan kesadaran etika dalam berpolitik, terutama pada para pejabat negara perlu dilakukan. “Tentu yang paling penting hari ini adalah kesadaran etik para pejabat negara untuk menahan keluarganya maju dalam politik,” kata Kahfi.
Jika kerabat dan keluarga para pejabat aktif maju dalam pertarungan pemilu, dikhawatirkan ada tindakan favoritisme yang dilakukan demi pemenangan keluarganya.
Inilah yang terjadi saat Gibran Rakabuming Raka maju di gelanggang Pilpres 2024, sang ayah Joko Widodo masih menjabat Presiden RI. “Ini juga potensial terlihat gamblang menjelang masa kampanye ketika putra presiden menjadi cawapres,” katanya.(rah)