MK Tolak Gugatan PSI tapi Loloskan Gugatan UNS

MK Tolak Gugatan PSI tapi Loloskan Gugatan UNS

JAKARTA (Kastanews.com): Usia minimal 40 tahun tetap menjadi syarat bagi calon presiden dan wakil presiden setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi terhadap UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (15/10).

Putusan tersebut diketok oleh sembilan hakim konstitusi. Dua hakim MK mengajukan dissenting opinion yaitu Guntur Hamzah dan Suhartoyo.

Dalam pertimbangannya, Hakim MK Arief Hidayat merunut pembentukan UUD 1945 soal syarat usia capres/cawapres. Dalam runutan itu dimasukkan sebagai ranah kebijakan pembuat UU. MK juga menolak argumen PSI soal Perdana Menteri Sjahrir yang berusia di bawah 40 tahun.

“Sebab bukan kebiasaan atau konvensi,” kata Arief Hidayat.

Praktisi Hukum Sondang Tarida Tampubolon, S.H., LL.M. menuturkan, pembatasan ambang batas usia calon presiden atau calon wakil presiden 40 tahun memang ranah pembentuk undang undang dalam hal ini DPR RI.

“Sehingga permohonan untuk menurunkan ambang batas menjadi usia 35 tahun atau 25 tahun dapat diajukan kepada DPR melalui mekanisme revisi UU Pemilu baik itu melalui salah satu fraksi di DPR atau salah satu anggota DPR untuk menjadi usulannya agar dapat dilakukan pembahasan di komisi terkait,” ungkap Sondang di Jakarta, Senin (16/10) menanggapi putusan MK terkait gugatan PSI terhadap ambang batas usia capres dan cawapres.

Ditambahkan Sondang, khusus bagi PSI, disarakan untuk menempuh cara lainnya yaitu untuk memohonkan agar usia 35 tahun masuk ambang batas capres atau cawapres dalam UU Pemilu dengan cara PSI sebagai salah satu pemohon uji materi di MK dengan berhasil menembus ambang batas 4% parlemen threshold agar mendapatkan suara rakyat untuk duduk di DPR RI.

“Sehingga dengan begitu, PSI bisa langsung mengusulkan perubahan ambang batas usia tersebut melalui salah satu Anggota DPR RI nya di 2024 nanti, karena saat ini PSI belum memenuhi ambang batas parlemen dan belum punya keterwakilan DPR RI,” tukas Sondang.

Namun pada gugatan lainnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan menerima sebagian gugatan uji materiil norma batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), dengan Pemohon perkara mahasiswa Universitas Negeri Surakarta (UNS), Almas Tsaqibbirru Re A.

Menyikapi hal tersebut, Sondang menilai putusan MK tidak konsisten. Di satu sisi dia memberikan pertimbangan bahwa batasan usia menjadi 35 tahun adalah wewenang DPR, tapi di saat yang bersamaan MK menambahkan frasa yang diartikan bisa di bawah 40 tahun selama pernah atau sedang jadi kepala daerah (bupati, walikota kecuali walikota DKI, gubernur).

“Penambahan frasa pernah atau sedang menjabat kepala daerah ini berupa ketidakkonsistenan MK karena faktanya kepala daerah yang sedang menjabat di Indonesia, beberapa orang berusia di bawah 40 tahun, sehingga dapat dikatakan MK sudah melampaui yang menjadi kewenangan DPR yang tertuang di dalam UU Pemilu yang digugat,” papar Sondang.

Sondang juga menyitir segi moralitas PSI yang layak dipertanyakan, mengigat saat PSI mengajukan permohonan di waktu yang mepet dengan waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.

“Kalau memang maksudnya baik demi kepentingan rakyat, kenapa tidak diajukan jauh jauh hari setelah diputuskan memakai UU Pemilu? Kenapa harus saat ini?, Ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan kepentingan khusus dari pemohon yang bukan kepentingan rakyat yang sesungguhnya,” tegas Sondang.

Sondang pun menduga PSI memiliki kepentingan mendapatkan coattail effect dengan keterpilihan calon presiden akan memengaruhi keterpilihan calon anggota legislatif.

“Maksudnya, setelah memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya. Nah, hal ini bertentangan dengan prinsip pembatasan usia capres atau cawapres yang haruslah tidak sarat kepentingan para elit politik, tetapi semata untuk kemanfaatan, kebaikan dan kemakmuran bangsa Indonesia,” pungkas Sondang.(rls/*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *