GORONTALO (14 Agustus): Wakil Ketua DPR RI Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan (Korinbang), Rachmad Gobel, mengingatkan masyarakat agar waspada terhadap kemungkinan beredarnya uang palsu menjelang Pemilu 2024.
“Masyarakat agar hati-hati terhadap kemungkinan beredarnya uang palsu menjelang pemilu ini,” kata Gobel saat menutup Orientasi Calon Anggota Legislatif se-Provinsi Gorontalo, Sabtu (12/8) malam.
Ia juga menyampaikan hal itu dalam acara Sosialisasi Cinta Bangga Paham Rupiah yang diselenggarakan Bank Indonesia pada Jumat (11/8). Gobel mengatakan, uang palsu masih merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia.
“Nanti rakyat kecil yang dirugikan akibat peredaran uang palsu ini,” tandasnya.
Gobel mengingatkan hal itu karena kondisi ekonomi dunia, termasuk ekonomi Indonesia, sedang menurun. Dalam situasi itu, selalu ada pihak yang mencari peluang untuk mendapatkan keuntungan buat diri sendiri dengan merugikan orang lain. Salah satunya dengan menyebarkan uang palsu. Di saat kondisi ekonomi menurun, rakyat kecil adalah pihak yang paling menderita. Kondisi tersebut kerap dimanfaatkan dengan menyebarkan uang palsu.
“Jangan sampai rakyat kecil yang tak tahu apa-apa bisa dituduh sebagai pengedar uang palsu,” ujarnya.
Di masa menjelang pemilu, lanjut Gobel, bisa saja ada pihak yang mengail di air keruh. Pertama, ada yang mencoba menciptakan keresahan dan instabilitas nasional dengan mengganggu ketenangan proses pemilu. Kedua, ada pihak yang memperdaya atau bisa juga menjadi bagian dari peredaran uang palsu di kalangan pelaku politik.
“Semua kemungkinan bisa terjadi. Karena itu tingkat kewaspadaan masyarakat harus ditingkatkan. Cek dengan hati-hati jika menerima uang atau saat bertransaksi,” ungkapnya.
Praktik money politics dalam pemilu, kata Gobel, masih banyak terjadi dalam politik Indonesia.
“Terutama melalui serangan fajar di hari H pencoblosan. Di saat seperti itu, peluang beredarnya uang palsu sangat terbuka. Para pelakunya bisa jadi tak menyadari bahwa itu uang palsu. Ia kena tipu juga. Karena di momen pemilu kebutuhan uang tunai sangat tinggi. Ada kebutuhan untuk biaya operasional dan lain-lain. Nah, dalam situasi itu bagi orang yang punya niat jahat dijadikan peluang untuk mencari keuntungan finansial maupun untuk mengganggu stabilitas nasional,” katanya.
Gobel mengatakan, di Gorontalo fenomena money politics disebut sebagai politik mea-mea (merah-merah) atau biu-biu (biru-biru), yang merupakan sebutan untuk pecahan seratus ribu rupiah dan pecahan lima puluh ribu rupiah yang berwarna merah dan biru.
Ia mengingatkan masyarakat untuk selalu melakukan tiga langkah pengecekan keaslian uang, yakni dilihat, diraba, dan diterawang.
“Ini sesuai dengan anjuran Bank Indonesia. Lakukan prosedur tiga langkah pencegahan menjadi korban uang palsu. Bagi pedagang akan lebih baik jika memiliki alat ultraviolet untuk mengecek keaslian uang,” ujar legislator Partai NasDem itu.
Pada kesempatan itu, Gobel mengatakan dirinya tak akan melakukan politik mea-mea. Ada lima alasan. Pertama, tidak mau merendahkan harkat dan martabat manusia. Karena manusia sudah dimuliakan Tuhan YME. Bagi umat Islam, saat lahir diazankan di telinga kanan dan diqomatkan di telinga kiri. Bagi orang Kristen mereka sudah disucikan dengan cara dibaptis atau semacamnya.
Alasan kedua, sebagai orang Islam dirinya diajarkan untuk berlaku tangan di atas (memberi) adalah lebih baik daripada tangan di bawah (menerima). Politik mea-mea berarti mengajarkan masyarakat untuk mempraktikkan tangan di bawah.
Ketiga, politik mea-mea berarti merampas atau membeli hak politik warga. Oknum pelaku merasa sudah membeli hak politik warga dan warga merasa sudah menjual hak politiknya. Dengan demikian, selama lima tahun oknum pelaku merasa tak perlu mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan masyarakat dalam menunaikan tugas sebagai wakil rakyat. Inilah yang merusak kehidupan politik bangsa dan negara. Padahal, jika dibagi dalam lima tahun maka nilai politik uang itu tak ada artinya.
“Umumnya seratus ribu, atau katakan lima ratus ribu rupiah. Bagi per hari dalam lima tahun. Buat beli seliter beras pun tak cukup. Pemilu bukan praktik jual-beli tapi merupakan praktik perjanjian pertanggungjawaban,” urainya.
Keempat, orangtua tidak mengajarkan praktik semacam itu. Kelima, money politics adalah salah satu bentuk pelanggaran dalam pemilu.
“Mari kita jaga pemilu dengan politik bermartabat. Kita harus meninggikan nilai-nilai luhur bangsa untuk menjadi bangsa yang beradab. Kita bangun peradaban Indonesia dengan sebaik-baiknya,” pungkas Gobel. (rls/*)